Kamis, 09 Desember 2010

PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DALAM RANGKA MENINGKATKAN MUTU GURU DAN SARANA PRASARANA DI TK PERTIWI BANGO KECAMATAN DEMAK KABUPATEN DEMAK

PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) DALAM RANGKA MENINGKATKAN MUTU GURU DAN SARANA PRASARANA DI TK PERTIWI BANGO KECAMATAN DEMAK KABUPATEN DEMAK



Diajukan sebagai kegiatan pengembangan provesi untuk memenuhi sebagian syarat lomba Kepala Taman Kanak-Kanak Berprestasi


Disusun oleh :
NAMA : KUSTI’AH, S.Pd
NIP : 19650620 198702 2 003
HP : 085290663711
UNIT KERJA : TK PERTIWI BANGO
KEC. DEMAK KAB. DEMAK
TELP. : (0291) 4284484


DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA
KABUPATEN DEMAK
TAHUN 2010

KATA PENGANTAR


Alhamdulillahirobbil alamin berkat rahmat dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa saya bisa menyelesaikan Karya Tulis, dengan judul Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Dalam Rangka Meningkatkan Mutu Guru dan Sarana Prasarana di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak sebagai prasyarat Lomba Kepala TK Berprestasi Kabupaten Demak Tahun 2010, walaupun masih banyak kekurangan, inilah sumbangsih saya kepada dunia pendidikan, khususnya pendidikan di Taman Kanak-Kanak.
Penyempurnaan Kurikulum dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pendidikan yang akan datang sangat menuntut kita untuk meningkatkan sumber daya manusia guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di Taman Kanak-Kanak.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ini tak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Kepala UPTD Dikpora Kecamatan Demak
2. Pengawas TK / SD Kecamatan Demak
3. Kepala TK Pertiwi Bango yang sekaligus melaksanakan penerapan supervisi ini
4. Rekan-rekan guru TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak
5. Ketua Komite dan bidang-bidang / seksi Komite Sekolah
6. Ketua penyelenggara TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak
Akhirnya penulis memohon maaf apabila dalam laporan karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran demi peningkatan dan penyempurnaan karya tulis ini.

Demak, Juni 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii

BAB I PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang Masalah 1
2. Permasalahan 2
3. Strategi Pemecahan Masalah 3

BAB II PEMBAHASAN 5
1. Alasan Pemilihan Strategi Pemecahan Masalah 7
2. Hasil atau Dampak yang Dicapai 8
3. Kendala-Kendala yang Dihadapi 10
4. Faktor-Faktor Pendukung 10
5. Alternatif Pengembangan 10

BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI OPERASIONAL 11
1. Simpulan 11
2. Rumusan Rekomendasi Operasional untuk Implementasi
Temuan 11

PENGESAHAN 13
DAFTAR PUSTAKA 14
LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Terjadinya perubahan yang sangat mendasar berupa bergesernya paradigma pembinaan sekolah. Jika selama ini menggunakan paradigma input-output production, artinya dengan input yang baik secara otomatis mutu output akan baik. Melalui MBS sekolah dipandang sebagai suatu unit manajemen yang utuh dan memerlukan perlakuan (treatment) khusus dalam upaya pengembangannya. Perlakuan khusus itu akan berbeda untuk setiap sekolah.
Pengambilan keputusan dalam merancang dan mengelola pendidikan seharusnya lebih banyak dilakukan di tingkat sekolah, namun demikian sekolah tidak memiliki kapasitas untuk berjalan sendiri tanpa menghiraukan kebijakan, prioritas dan standardisasi yang diamanatkan oleh pemerintah yang telah ditentukan secara demokratis atau politis.
Pemberian otonomi yang lebih besar dengan model MBS yang bertanggung jawab diberikan kepada kepala sekolah dalam pemanfaatan sumber daya, sesuai dengan kondisi setempat. Konsep otonomi merupakan tindakan desentralisasi yang dilakukan oleh lembaga yang lebih tinggi ke sekolah. Hal tersebut merupakan upaya pemberdayaan semua potensi yang tersedia di sekolah.
MBS menuntut kesiapan pengelola pendidikan berbagai jenjang untuk melakukan perannya sesuai dengan kewajiban, kewenangan, dan tanggung jawabnya. MBS akan efektif diterapkan jika para pengelola pendidikan mampu melibatkan stakeholders terutama peningkatan peran serta masyarakat dalam menentukan kewenangan pengadministrasian, dan inovasi kurikulum yang dilakukan oleh masing-masing sekolah. Inovasi kurikulum lebih menekankan kepada peningkatan kualitas dan keadilan (equity), pemerataan (equality) bagi semua siswa yang didasarkan atas kebutuhan peserta didik dan masyarakat lingkungannya.
MBS merupakan strategi yang efektif dalam meningkatkan kinerja unggul sekolah yang didukung oleh anggaran, SDM, dan kurikulum atau pengajaran yang memadai. MBS juga memisahkan sistem informasi, penggunaan sumber, metode belajar dan pemerintahan.
Orientasi MBS adalah pelibatan aktor sekolah secara lebih luas dalam hal bagaimana mereka mendidik siswa dan memperbaiki kinerja organisasi sekolah. Implementasi MBS akan mensyaratkan hal-hal sebagai berikut :
- Adanya kebutuhan untuk berubah atau inovasi
- Adanya re-desain organisasi pendidikan, dan
- Proses perubahan sebagai proses belajar
Penulis melakukan pengamatan terhadap permasalahan yang terjadi di TK Pertiwi Bango, bahwa salah satu usaha untuk meningkatkan mutu guru dan sarana prasarana yang harus tergali oleh sekolah yaitu melaksanakan MBS. Hal ini bisa dilihat dari :
a. Kesejahteraan guru rendah
b. Kualifikasi pendidikan guru rendah
c. Sarana prasarana kurang sekali
Permasalahan yang terjadi tidak terlepas dari kurangnya wawasan kepala sekolah dalam menerapkan manajemen sekolah.
Kondisi TK Pertiwi Bango yang berdiri sejak 1 Juli 1983 tidak dapat didiamkan begitu saja. Karena jika penerapan manajemen kurang tepat, hal ini sudah dipastikan bahwa proses selanjutnya juga akan mengalami kegagalan.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengangkat judul : ”Penerapan MBS dalam rangka meningkatkan mutu guru dan sarana prasarana di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak.

2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, masalah karya tulis ini dapat dirumuskan : Apakah penerapan manajemen berbasis sekolah dapat meningkatkan mutu guru dan sarana prasarana di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak?
3. Strategi Pemecahan Masalah
Untuk penerapan MBS di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak ada strategi pemecahan masalah :
1. Seleksi Mutu Guru
Kepala Sekolah mengadakan pengamatan terhadap guru berdasarkan data yang ada yaitu kualifikasi akademik, pendidikan dan latihan, seminar, prestasi guru dan mengamati kesejahteraan guru berdasarkan data yang ada.
2. Seleksi Mutu Sarana Prasarana
Kepala Sekolah bersama Komite Sekolah mengadakan pengamatan terhadap sarana prasarana yang ada berdasarkan pada data yang ada. Kemudian untuk pengadaan berdasarkan skala prioritas atau sarana prasarana yang sangat diperlukan pada saat ini (dalam satu tahun pelajaran).
3. Merencanakan Peningkatan
Kepala Sekolah beserta Komite Sekolah merencanakan berbagai prosedur untuk meningkatkan mutu guru baik guru negeri maupun guru non negeri beserta kesejahteraannya.
Kepala Sekolah beserta Komite Sekolah merencanakan berbagai prosedur untuk perbaikan dan pengadaan sarana prasarana.
4. Analisis
Kepala Sekolah beserta Komite Sekolah menganalisis berbagai informasi dan data.
5. Evaluasi
Kepala Sekolah dan Komite Sekolah melakukan evaluasi mengenai kontribusi berbagai pengamatan dan perencanaan terhadap peningkatan mutu guru, kesejahteraan, perbaikan dan pengadaan sarana prasarana.




Tahapan Operasional Pelaksanaannya
Berdasarkan uraian tentang manajemen berbasis sekolah dapat digambarkan bahwa penerapan manajemen ini dapat meningkatkan mutu guru dan sarana prasarana.
Adapun langkah-langkah yang diterapkan pada proses manajemen berbasis sekolah di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak adalah sebagai berikut :
a. Pada akhir tahun pelajaran kepala sekolah dan guru mengadakan rapat dewan guru
b. Hasil rapat dewan guru kita musyawarahkan dulu rapat dengan ketua komite beserta pengurus / bidang-bidang komite
c. Hasil rapat di atas kita angkat pada rapat komite beserta orang tua wali murid, penyelenggara, tokoh masyarakat dan tokoh agama, instansi terkait pada awal tahun pelajaran
d. Kegiatan rapat bersama yaitu mengangkat tentang kegiatan kebutuhan yang akan dilaksanakan pada awal tahun pelajaran dan akhir pelajaran atau selama satu tahun pelajaran
e. Keputusan rapat komite dapat disyahkan kalau 75 % orang tua / wali murid hadir pada kegiatan rapat komite
f. Pada akhir tahun ajaran kepala sekolah mengadakan rapat komite dan menyampaikan laporan pertanggung jawaban kegiatan yang telah dilaksanakan kepada komite sekolah dan wali murid.
g. Kepala sekolah memberikan surat pemberitahuan / kesimpulan hasil rapat komite kepada orang tua wali murid, komite sekolah, penyelenggara, tokoh masyarakat dan instansi terkait yang diketahui oleh ketua komite sekolah
h. Rapat komite beserta orang tua wali murid, penyelenggara, tokoh masyarakat, tokoh agama, instansi terkait dilaksanakan minimal 2 kali selama 1 tahun pelajaran dan dilaksanakan setiap tahun

BAB II
PEMBAHASAN


Kajian Teori
Istilah manajemen berbasis sekolah (MBS) berasal dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Manajemen adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Catatan: sumber daya terbagi menjadi sumber daya manusia dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan, bahan/material, dan uang); input manajemen terdiri dari tugas, rencana, program, limitasi yang terwujud dalam bentuk ketentuan-ketentuan. (Poernomosidi Hadjisarosa, 1997)
Berbasis berarti "berdasarkan pada" atau "berfokuskan pada". Sekolah adalah suatu organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memberikan "bekal kemampuan dasar" kepada peserta didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia; spesifikasi untuk barang/jasa, dan prosedur-prosedur kerja). (Poernomosidi Hadjisarosa, 1997).
Dari uraian tersebut dapat dirangkum bahwa "manajemen berbasis sekolah" adalah pengkoordinasian dan penyerasian sumberdaya yang dilakukan secara otonomis (mandiri) oleh sekolah melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan sekolah dalam kerangka pendidikan nasional, dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan (partisipatif)". Catatan: kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah meliputi: kepala sekolah dan wakil-wakilnya, guru, siswa, konselor, tenaga administratif, orangtua siswa, tokoh masyarakat, para profesional, wakil pemerintahan, wakil organisasi pendidikan. Lebih ringkas lagi, manajemen berbasis sekolah dapat dirumuskan sebagai berikut (David, 1989 dalam unduh): manajemen berbasis sekolah = otonomi manajemen sekolah + pengambilan keputusan partisipatif.
Otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan/kemandirian yaitu kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri, dan merdeka/tidak tergantung (Undang-Undang No.22 Th.1999 tentang Pemerintahan Daerah). Istilah otonomi juga sama dengan istilah "swa", misalnya swasembada, swakelola, swadana, swakarya, swalayan, dan swa-swa lainnya. Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-undangan pendidikan nasional yang berlaku. Tentu saja kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan, yaitu kemampuan mengambil keputusan yang terbaik, kemampuan berdemokrasi/menghargai perbedaan pendapat, kemampuan memobilisasi sumber daya, kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik, kemampuan berkomunikasi yang efektif, kemampuan memecahkan persoalan-persoalan sekolah, kemampuan adaptif dan antisipatif, kemampuan bersinergi dan berkolaborasi, dan kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri.
Untuk mencapai otonomi sekolah, diperlukan suatu proses yang disebut "desentralisasi". Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan pendidikan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, dari pemeritah Dati I ke Dati II, dari Dati II ke sekolah, dan bahkan dari sekolah ke guru, tetapi harus tetap dalam kerangka pendidikan nasional. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan yang diatur secara "sentralistik" menghasilkan fenomena-fenomena seperti berikut: lamban berubah/beradaptasi, bersifat kaku, normatif sekali orientasinya karena terlalu banyaknya lapis-lapis birokrasi, tidak jarang birokrasi mengendalikan fungsi dan bukan sebaliknya, uniformitas telah memasung kreativitas, dan tradisi serta serimoni yang penuh kepalsuan sudah menjadi kebiasaan. Kecil itu indah, adalah merupakan esensi desentralisasi. Menurut (Bailey 1991 dalam unduh), organisasi yang cakupan, pemerintahan, manajemen, dan ukurannya kecil, mudah beradaptasi. Karena itu, desentralisasi bukan lagi merupakan hal penting untuk diterapkan, tetapi sudah merupakan keharusan. Dengan desentralisasi, maka: (1) fleksibilitas pengambilan keputusan sekolah akan tumbuh dan berkembang dengan subur, sehingga keputusan dapat dibuat "sedekat" mungkin dengan kebutuhan sekolah; (2) akuntabilitas / pertanggunggugatan terhadap masyarakat (majelis sekolah, orangtua peserta didik, publik) dan pemerintah meningkat; dan (3) kinerja sekolah akan meningkat (efektivitasnya, kualitasnya, efisiensinya, produktivitasnya, inovasinya, provitabilitasnya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moralnya).
Pengambilan keputusan partisipatif (David, 1989 dalam unduh) adalah suatu cara untuk mengambil keputusan melalui penciptaan lingkungan yang terbuka dan demokratik, dimana warga sekolah (guru, siswa, karyawan, orang tua siswa, tokoh masyarakat) didorong untuk terlibat secara langsung dalam proses pengambilan keputusan yang akan dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan sekolah. Hal ini dilandasi oleh keyakinan bahwa jika seseorang dilibatkan (berpartisipasi) dalam pengambilan keputusan, maka yang bersangkutan akan ada "rasa memiliki" terhadap keputusan tersebut, sehingga yang bersangkutan juga akan bertanggungjawab dan berdedikasi sepenuhnya untuk mencapai tujuan sekolah. Singkatnya: makin besar tingkat pertisipasi, makin besar pula rasa memiliki; makin besar rasa memiliki, makin besar pula rasa tanggungjawab; dan makin besar rasa tanggung jawab, makin besar pula dedikasinya. Tentu saja pelibatan warga sekolah dalam pengambilan keputusan harus mempertimbangkan keahlian, yurisdiksi, dan relevansinya dengan tujuan pengambilan keputusan sekolah.
Dengan pengertian diatas, maka pengembangan manajemen berbasis sekolah semestinya mengakar di sekolah, terfokus di sekolah, terjadi disekolah, dan dilakukan oleh sekolah. Untuk itu, penerapan manajemen berbasis sekolah memerlukan konsolidasi manajemen sekolah.

1. Alasan Pemilihan Strategi Pemecahan Masalah
Ada beberapa alasan pemilihan strategi pemecahan masalah dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ini :
a. Bagi Guru
1. Dapat meningkatkan kesejahteraan guru
2. Dapat meningkatkan mutu guru
3. Dapat meningkatkan kinerja guru
b. Bagi Sekolah
1. Meningkatkan sarana prasarana
2. Meningkatkan kerja sama
3. Meningkatkan kinerja sekolah
4. Meningkatkan budaya mutu
5. Memanfaatkan peran serta masyarakat

2. Hasil atau Dampak yang Dicapai
Dari penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak diperoleh hasil atau dampak sebagai berikut :
a. Bagi Guru
1. Dapat meningkatkan / ada kenaikan kesejahteraan setiap tahunnya
2. Dapat meningkatkan kualifikasi akademik
Dari pendidikan SMA melanjutkan ke D2. Dari pendidikan D2 melanjutkan ke S1. Dari S1 melanjutkan ke S2. Jadi sampai saat ini guru TK Pertiwi Bango 6 orang yang melanjutkan pendidikan ada 3 orang guru yaitu 2 guru ke S1 dan 1 guru ke S2 dengan biaya sendiri.
Telah disepakati antara Kepala Sekolah, guru dan komite, diklat inovasi pembelajaran / kurikulum diikuti semua guru di biayai dari dana operasional sekolah.
Diklat yang meliputi bagian dari kurikulum diikuti 3 guru dibiayai sekolah. Seminar-seminar yang dilaksanakan oleh instansi lain, disepakati boleh mengikuti dengan biaya sendiri. Sehingga TK Pertiwi Bango dapat meraih prestasi yang signifikan dari anak dapat meraih prestasi sampai ke Tingkat Provinsi dan DIY, guru dan kepala sampai ke Tingkat Kabupaten dan Kepala Sekolah saat ini bisa mengikuti lomba ke Tingkat Provinsi.




b. Bagi Sekolah
Meningkatkan sarana prasarana mulai tahun 2000 sampai sekarang :
1. Pemasangan sumber daya listrik
2. Memperbaiki gedung yang ± 25 % rusak (penggantian genting, talang, teras)
3. Pengadaan bola tangga
4. Pengadaan ruang kantor / ruang Kepala Sekolah berlantai keramik
5. pengecatan mebeler
6. Pengadaan ruang UKS, ruang guru, ruang gudang, 2 kamar mandi / WC, ruang dapur berkeramik
7. Pemasangan pompa air dari air sungai
8. Pengadaan tape recorder dan radio
9. Penambahan ventilasi dinding gedung
10. Pengadaan plafon 2 ruang kelas dan pengecatan dengan gambar bulan, bintang
11. Pengadaan pagar pintu sekolah bertuliskan TK Pertiwi Bango
12. Pengecatan dinding sekolah dan alat-alat permainan diluar kelas
13. Pengecatan dinding 2 ruang kelas sesuai tema pembelajaran di TK
14. Pengadaan papan tulis
15. Pengadaan titian (dulu sudah ada tetapi rusak)
16. Pengadaan tiang bendera (dulu sudah ada diganti yang lebih baik)
17. Pengadaan komedi putar
18. Pengadaan telepon
19. Pengadaan 2 kipas angin untuk di ruang kelas
20. Pengadaan 4 almari peraga, 1 almari piala, 1 almari administrasi
21. Pengadaan 8 karpet untuk ruang kelas
22. Pengadaan dipan dan perlengkapannya di UKS
23. Pengadaan taplak area
24. Pengadaan alat peraga di dalam kelas
25. Pengadaan tulisan-tulisan area yang menarik
26. Pengadaan alat-alat dapur antara lain : rak piring, kompor, piring dan gelas, dan lain-lain
27. Pengadaan timbangan dan meteran anak
28. Pengadaan 4 meja besar untuk kegiatan belajar anak di area-area
29. Pengadaan alat-alat kebersihan
30. Pengadaan sisbox / tempat administrasi kepala sekolah dan guru

3. Kendala-Kendala Yang Dihadapi
Ada beberapa kendala dalam penerapan manajemen berbasis sekolah antara lain :
a. Guru belum semuanya berkualifikasi akademik S1
b. Karena terbatasnya lahan, maka belum bisa menambah ruang kelas
c. Karena terbatasnya lahan untuk kegiatan bermain diluar maka belum bisa menambah alat-alat untuk bermain diluar kelas

4. Faktor-Faktor Pendukung
Ada beberapa faktor pendukung dalam penerapan manajemen berbasis sekolah antara lain :
a. Buku panduan manajemen berbasis sekolah
b. Rencana pelaksanaan peningkatan kualifikasi pendidikan dan peningkatan kesejahteraan
c. Rencana perbaikan, pengembangan / pengadaan sarana prasarana
d. Lembar realisasi program

5. Alternatif Pengembangan
Dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) ada alternatif pengembangan :
a. MBS dapat meningkatkan mutu guru maka perlu ditingkatkan peran serta masyarakat dan disosialisasi ke TK lain
b. MBS dapat meningkatkan sarana prasarana maka perlu ditingkatkan peran serta masyarakat dan disosialisasikan di TK lain

BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI OPERASIONAL


1. Simpulan
Berdasarkan hasil penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang telah dilaksanakan di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak dapat disimpulkan bahwa sangat tepat untuk meningkatkan mutu guru dan dapat meningkatkan sarana prasarana. Secara khusus karya tulis ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat meningkatkan kesejahteraan guru
b. Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat meningkatkan kualifikasi pendidikan
c. Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat meningkatkan kinerja guru
d. Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat meningkatkan sarana prasarana dari yang belum ada dapat diadakan, dari yang rusak dapat diperbaiki. Sehingga keadaan TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak sampai saat ini tidak ketinggalan dengan TK-TK yang ada di kota walaupun keberadaan TK ada di desa
e. Penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) dapat meningkatkan kerja sama dan peran serta masyarakat secara optimal

2. Rumusan Rekomendasi Operasional Untuk Implementasi Temuan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan sebelumnya serta data dan bukti yang di dapat setelah penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS) di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak maka penulis merekomendasikan untuk penerapan lebih lanjut :
- Mengingat manajeman berbasis sekolah telah terbukti mampu meningkatkan mutu guru
- Mengingat manajeman berbasis sekolah telah terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan guru
- Mengingat manajeman berbasis sekolah telah terbukti mampu meningkatkan sarana prasarana, dari yang belum ada dapat diadakan, dari yang rusak dapat diperbaiki / dapat menjadi baik.
- Mengingat manajeman berbasis sekolah telah terbukti mampu meningkatkan kerja sama dan memanfaatkan peran serta masyarakat secara optimal

UPTD PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA
KECAMATAN DEMAK KABUPATEN DEMAK
Jl. Diponegoro No. 3 Telp. (0291) 685709 Demak

Nomor : Kepada Yth.
Lampiran : 1 bendel Kepala Dinas Pendidikan Pemuda
Perihal : Pengesahan dan Olah Raga Kabupaten Demak



Berdasarkan hasil pengamatan kami dilapangan bahwa karya tulis yang berjudul : Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Dalam Rangka Meningkatkan Mutu Guru dan Sarana Prasarana di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak, yang dibuat oleh :

N a m a : KUSTI’AH, S.Pd
N I P : 19650620 198702 2 003
Tempat Tanggal Lahir : Demak, 20 Juni 1965
Pangkat / Golongan Ruang : Pembina IVa
J a b a t a n : Kepala Taman Kanak-Kanak
Unit Kerja : TK Pertiwi Desa Bango UPTD Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kecamatan Demak Kabupaten Demak

Benar-benar murni hasil karyanya.
Demikian hasil pengamatan, semoga dapat dipergunakan semestinya.


Demak, Juni 2010
K e p a l a


KHOLIDIN, SH.MM
NIP. 19630416 1988 1 006

DAFTAR PUSTAKA


Direktorat Dikmenum. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Dewan Perwakilan Rakyat. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat.
http://okidermawan.multiply.com/journal/item/3
jam 8.46 30 mei 2010
Poernomosidi Hadjisarosa. 1997. Naskah 1: Butir-Butir untuk Memahami Pengertian Mengenali Hal Secara Utuh dan Benar (Bahan Kuliah STIE Mitra Indonesia).

PENERAPAN METODE COOPERATIVE LEARNING TIPE GROUP INVESTIGATION DALAM RANGKA MENINGKATKAN KECERDASAN BAHASA

PENERAPAN METODE COOPERATIVE LEARNING TIPE GROUP INVESTIGATION DALAM RANGKA MENINGKATKAN KECERDASAN BAHASA
DI TK PERTIWI BANGO
KECAMATAN DEMAK KABUPATEN DEMAK
TAHUN 2010



Diajukan sebagai kegiatan pengembangan provesi untuk memenuhi sebagian syarat lomba Kepala Taman Kanak-Kanak Berprestasi

Disusun oleh :
NAMA : KUSTI’AH, S.Pd
NIP : 19650620 198702 2 003
HP : 085290663711
UNIT KERJA : TK PERTIWI BANGO
KEC. DEMAK KAB. DEMAK
TELP. (0291) 4284484

UPTD PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA
KECAMATAN DEMAK KABUPATEN DEMAK
TAHUN 2010

KATA PENGANTAR


Alhamdulillahirobbil alamin berkat rahmat dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa saya bisa menyelesaikan Karya Tulis, dengan judul Penerapan Metode Cooperative Learning Tipe Group Investigation Dalam Rangka Meningkatkan Kecerdasan Bahasa di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak sebagai prasyarat Lomba Kepala TK Berprestasi Kabupaten Demak Tahun 2010, walaupun masih banyak kekurangan, inilah sumbangsih saya kepada dunia pendidikan, khususnya pendidikan di Taman Kanak-Kanak.
Penyempurnaan Kurikulum dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang pendidikan yang akan datang sangat menuntut kita untuk meningkatkan sumber daya manusia guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan di Taman Kanak-Kanak.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan karya tulis ini tak dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Kepala UPTD Dikpora Kecamatan Demak
2. Pengawas TK / SD Kecamatan Demak
3. Kepala TK Pertiwi Bango yang sekaligus melaksanakan penerapan supervisi ini
4. Rekan-rekan guru TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak
5. Ketua Komite dan bidang-bidang / seksi Komite Sekolah
6. Ketua penyelenggara TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak
Akhirnya penulis memohon maaf apabila dalam laporan karya tulis ini jauh dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengharap kritik dan saran demi peningkatan dan penyempurnaan karya tulis ini.

Demak, Mei 2010

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul i
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii

BAB I PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang Masalah 1
2. Permasalahan 3
3. Strategi Pemecahan Masalah 3

BAB II PEMBAHASAN 7
1. Alasan Pemilihan Strategi Pemecahan Masalah 12
2. Hasil atau Dampak yang Dicapai 13
3. Kendala-Kendala yang Dihadapi 14
4. Faktor-Faktor Pendukung 14
5. Alternatif Pengembangan 15

BAB III KESIMPULAN DAN REKOMENDASI OPERASIONAL 16
1. Simpulan 16
2. Rumusan Rekomendasi Operasional untuk Implementasi
Temuan 16

PENGESAHAN 18
DAFTAR PUSTAKA 19
BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang Masalah
Perubahan telah terjadi di mana-mana, termasuk di dunia pendidikan. Dunia pendidikan secara terus-menerus mengalami proses perubahan dan perkembangan. Perkembangan ini berawal dari tidak ada menjadi ada, dari yang sudah ada menjadi lebih baik, dan yang sudah baik menjadi lebih baik dan sempurna, dan seterusnya. Proses perubahan yang terjadi di dunia pendidikan kita saat ini secara tidak langsung menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma dalam masyarakat.
Salah satu tuntutan masyarakat terhadap dunia pendidikan kita adalah mampu menciptakan manusia yang memiliki kemampuan dalam melakukan kerja sama dengan orang lain. Keinginan ini tidak bisa diindahkan begitu saja oleh dunia pendidikan kita, begitu pula oleh lembaga formal Taman kanak-kanak. Taman Kanak-kanan sebagai lembaga pendidikan formal yang terendah juga harus mampu menanamkan sikap kerja sama dengan orang lain dengan melakukan kreativitas dalam melakukan proses pembelajaran di sekolah, namun juga tidak bisa melepaskan begitu saja prinsip ”Belajar sambil bermain, bermain seraya belajar” dalam proses pembelajaran yang dilakukan. Di samping itu perlu juga diperhatikan bahwa batasan pembelajara pada lembaga TK adalah tidak menargetkan pada suatu hasil, tetapi pada prosesnya. Jika prosesnya benar dan baik, secara otomatis hasilnya juga akan baik, bahkan bisa di luar dugaan.
Berdasarkan dari persoalan yang ada dan berpatokan pada Kurikulum Berbasis Kompetensi TK 2004, yang di dalamnya terdapat dua formula besar yang harus dikembangkan, yaitu pembentukan perilaku dan pembentukan kemampuan dasar, pembentukan perilaku dijabarkan ke dalam empat poin, di antaranya : moral dan nilai-nilai agama; sosial; emosional; dan kemandirian. Adapun kemampuan dasar juga dijabarkan ke dalam empat poin juga, yaitu berbahasa; kognitif; fisik / motorik; dan seni. Penulis melakukan pengamatan terhadap permasalahan yang terjadi di TK Pertiwi Bango, bahwa salah satu kecerdasan yang harus tergali oleh siswa TK, yaitu Kecerdasan Bahasa. Siswa pada TK Pertiwi Bango sangatlah rendah. Hal ini bisa dilihat dari beberapa faktor di bawah ini.
a. Kemampuan siswa untuk berbicara secara lancar rendah
b. Kekayaan kosakata siswa yang masuk dalam kategori baik hanya sedikit
c. Kemampuan siswa dalam mengungkapkan ide atau gagasan hanya sedikit
d. Kemampuan siswa dalam menceritakan isi cerita tentang gambar yang ada secara berurutan hanya sedikit
Permasalahan yang terjadi tidak terlepas dari kurangnya wawasan guru dalam memilih dan menerapkan metode yang tepat untuk digunakan dalam mengembangkan kecerdasan bahasa pada anak.
Kondisi seperti ini tidak bisa didiamkan begitu saja. Karena, jika penerapan proses awal salah, hal ini sudah bisa dipastikan bahwa proses selanjutnya juga akan mengalami kegagalan. Dengan demikian, perbaikan proses pembelajaran di tingkat lembaga formal TK ini.
Berdasarkan permasalahan di atas, sangatlah penting bagi penulis untuk mencoba menerapkan penggunaan metode cooperative learning tipe group investigation dalam meningkatkan kecerdasan bahasa di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak. Metode ini merupakan salah satu metode yang tidak hanya mampu mengajak siswa untuk memiliki emosional yang baik dalam berhubungan dengan temannya, tetapi juga mampu menggali kemampuan berkomunikasi yang dimiliki oleh anak.
Dapat disimpulkan bahwa akar permasalahan yang terjadi adalah penggunaan metode yang kurang tepat dalam melakukan proses belajar mengajar dalam kegiatan pengembangan kemampuan berbahasa, sekaligus memenuhi tuntutan masyarakat dalam membekali anak untuk memiliki sikap kerja sama. Permasalahan ini dapat diatasi dengan menggunakan metode cooperative learning tipe group investigation yang tidak hanya melatih anak untuk mengasah emosionalnya, tetapi juga menggali kemampuan anak dalam berkomunikasi melalui kegiatan cerita bergambar.
Berdasarkan uraian di atas, penulis mengangkat judul ”Penerapan Metode Cooperative Learning Tipe Group Investigation Dalam Rangka Meningkatkan Kecerdasan Bahasa Pada Siswa di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak”.

2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, masalah karya tulis ini dapat dirumuskan ”Apakah penerapan metode cooperative learning tipe group investigation dapat meningkatkan kecerdasan bahasa melalui proses kegiatan cerita bergambar pada siswa di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak?”

3. Strategi Pemecahan Masalah
Untuk penerapan metode cooperative learning tipe group investigation di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak ada strategi pemecahan masalah yaitu :
1. Seleksi Topik
Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik, maupun kelompok akademik.
2. Merencanakan Kerja Sama
Para siswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas, dan tujuan umum (goals) yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih pada langkah 1 di atas.
3. Implementasi
Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah 2. Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan keterampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber, baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
4. Analisis dan Sintesis
Para siswa menganalisis dan mensintesiskan berbagai informasi yang diperoleh pada langkah 3 dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.
5. Penyajian Hasil Akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencari suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinasikan oleh guru.
6. Evaluasi
Selanjutnya, guru beserta para siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individual atau kelompok, atau keduanya.
Dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran group investigation adalah salah satu tipe dari pembelajaran cooperative learning yang mengajak siswa untuk berperan serta dalam penentuan topik, kebebasan dalam mengemukakan pendapat, dan menuntut siswa untuk melakukan kerja sama dengan anggota kelompoknya.
Agar dalam penerapan model pembelajaran tipe group investigation, seorang instruktor, dalam hal ini adalah pengajar atau guru harus memahami tentang dasar-dasar dari cooperative learning. Guru juga membutuhkan kemampuan dalam mengkondisikan situasi yang aktif agar bisa bersama-sama dengan siswa menentukan topik yang dibahas. Guru juga harus mampu mengolah siswa untuk mengembangkan keterampilan sosialnya seperti dalam berkomunikasi, konflik manajemen, pengambilan keputusan, kepemimpinan, dan membangun kepercayaan.

Tahapan Operasional Pelaksanaannya
Berdasarkan uraian tentang pembelajaran cooperative learning tipe group investigation dapat digambarkan bahwa metode pembelajaran ini mampu mengakomodasi keempat aspek kecerdasan, yaitu : kecerdasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual pada lembaga TK. Pada karya tulis ini akan dikembangkan kecerdasan intelektual bahasa pada anak tanpa mengesampingkan tiga aspek kecerdasan yang lainnya. Langkah-langkah dalam menerapkan model pembelajaran cooperative learning tipe group investigation disesuaikan dengan prinsip pembelajaran di TK.
Adapun langkah-langkah yang diterapkan pada proses pembelajaran di lingkungan TK Pertiwi Bango adalah sebagai berikut :
a. Guru membagi kelas menjadi 6 kelompok yang heterogen
b. Guru menjelaskan langkah-langkah pembelajaran sebagai berikut :
1) Anak mengikuti guru bercerita
2) Anak berdiskusi atau kerja kelompok untuk menyampaikan ide yang terdapat dalam gambar
3) Anak yang dapat menyampaikan ide dari gambar tersebut akan diberikan penghargaan atau hadiah
c. Guru memperlihatkan gambar kepada anak dan membacakan tulisan sederhana yang ada kemudian menceritakannya
d. Guru membagikan gambar / alat peraga pada masing-masing kelompok (satu kelompok, satu gambar).
e. Anak mendiskusikan ide / isi dari gambar untuk mendapatkan isi cerita secara keseluruhan
f. Guru sebagai motivator, guru membantu kelompok-kelompok yang mengalami kesulitan melalui pertanyaan-pertanyaan
g. Guru memberikan kesempatan pada kelompok mana yang telah siap menceritakan isi gambar yang telah didiskusikan (secara kelompok)
h. Secara bergiliran anak menceritakan isi gambar (secara individu)
i. Guru memberikan penghargaan / hadiah pada anak yang berani bercerita di depan kelas
j. Pada saat proses pembelajaran, guru mengobservasi dan mengadakan penilaian dengan instrumen yang telah disediakan.
k. Anak dan guru menyimpulkan isi cerita pada gambar


BAB II
PEMBAHASAN


Kajian Teori
1. Kecerdasan
Istilah kecerdasan diturunkan dari kata intelegensi (Wahab, 2000 : 70). Intelegensi merupakan suatu kata yang memiliki makna yang sangat abstrak. Namun demikian, banyak ahli psikologi yang mencoba mengembangkan ikonnya dalam memahami intelegensi.
Dari berbagai macam pengertian yang dikemukakan oleh para ahli psikologi, Wahab menyimpulkan bahwa kecerdasan adalah suatu konsep abstrak yang diukur secara tidak langsung oleh psikologi melalui tes intelegensi untuk mengestimasikan proses intelektualnya.
Lebih lanjut, Wahab (2000) mengatakan bahwa intelegensi mempunyai beberapa komponen, antara lain kemampuan verbal, keterampilan pemecahan masalah, kemampuan belajar dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan, dan pengalaman sehari-hari. Intelegensi adalah kesanggupan mental untuk memahami, menganalisis secara kritis, cermat, dan teliti serta menghasilkan ide-ide baru secara efektif dan efisien.

Kecerdasan Bahasa
Gardner, Howard dalam bukunya yang berjudul ”Multiple Intelligences” (1993) mengatakan bahwa skala kecerdasan yang selama ini dipakai ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang. Gambaran mengenai spektum kecerdasan yang luas telah membuat mata para orang tua maupun guru tentang adanya wilayah-wilayah yang secara spontan akan diminati oleh anak-anak dengan semangat yang tinggi. Dengan demikian, masing-masing anak tersebut akan merasa pas menguasai bidangnya masing-masing. Bukan hanya cakap pada bidang tersebut yang memang sesuai dengan minatnya, melainkan juga akan sangat menguasainya sehingga menjadi amal. Para ahli lebih lanjut mengatakan bahwa terdapat unsur kecerdasan. Salah satunya adalah kecerdasan verbal linguistik atau yang lebih dikenal dengan istilah kecerdasan bahasa. Kecerdasan bahasa ini berkaitan dengan kemampuan menggunakan kata-kata dan memanfaatkan bahasa untuk mengekspresikan pengertian yang kompleks secara efektif.
Kecerdasan bahasa tidak hanya sekedar bisa menulis dan bisa membaca secara harfiah sesuatu yang seringkali kita banggakan pada anak-anak kita di usia TK tetapi juga berkaitan dengan kemampuan untuk mencerna apa yang dibaca dan menuangkan apa yang dipikirkan. Anak-anak dengan kecerdasan ini biasanya senang bercerita dan kaya kosakata (Tim Pustaka Famili, 2006 : 82).
Menurut Gardner (1993), kecerdasan bahasa memuat kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya.
Anak-anak dengan kecerdasan bahasa yang tinggi, umumnya ditandai dengan kesenangannya pada kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan suatu bahasa, seperti : membaca, menulis karangan, membuat puisi, menyusun kata-kata mutiara, dan sebagainya. Anak-anak seperti ini juga cenderung memiliki daya ingat yang kuat, misalnya terhadap nama-nama seseorang, istilah-istilah baru, maupun hal-hal yang sifatnya detail. Mereka cenderung lebih mudah belajar dengan cara mendengarkan dan verbalisasi. Dalam hal penguasaan suatu bahasa baru, anak-anak ini umumnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
Mayer dan Salovey (1997) mengungkapkan ada lima ranah kecerdasan emosional di dalam bahasa, yaitu (1) mengenali emosi sendiri, (2) mengatur emosi, dan (3) memotivasi (4) mengenali emosi orang lain, dan (5) membina hubungan dengan orang lain.


(1) Mengenali Emosi Sendiri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosional. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan. Akhirnya, tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah.
(2) Mengatur Emosi
Mengatur emosi berarti menanggapi perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat. Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan, dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, orang yang buruk kemungkinannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif yang merugikan dirinya sendiri.
(3) Memotivasi Diri
Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui berikut, yaitu : a) cara mengendalikan dorongan hati; b) derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; c) kekuatan berpikir positif; d) optimisme; e) keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada suatu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri yang dimilikinya, seseorang akan cenderung memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.



(4) Mengenali Emosi Orang Lain
Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.
(5) Membina Hubungan dengan Orang Lain
Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. tanpa memiliki keterampilan, seseorang akan mengalami kesulitan dalam pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya keterampilan-keterampilan semacam inilah yang menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh mengganggu atau tidak berperasaan.
Hal yang hampir senada juga dikemukakan oleh Robert Coles dalam bukunya yang berjudul ”The Moral Intellegence of Children”, (1997) bahwa di samping IQ, ada suatu jenis kecerdasan yang juga memegang peranan amat penting bagi kesuksesan seseorang dalam hidupnya.
Hal ini ditandai dengan kemampuan seorang anak untuk bisa menghargai dirinya sendiri maupun diri orang lain, memahami perasaan terdalam orang-orang di sekelilingnya, dan mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Semua ini merupakan kunci keberhasilan bagi seorang anak di masa depan.

2. Pembelajaran Cooperative Learning
Cooperative learning adalah model pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang lebih silih asah, silih asih, dan silih asuh antarsesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata (Abdurahman dan Bintoro, 2000 : 78).

Falfasah yang mendasari model cooperative learning dalam pendidikan adalah falsafah homo homini socios. Berlawanan dengan teori Darwin, falsafah ini menekankan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Tanpa kerja sama atau kooperatif, tidak akan ada individu, keluarga, organisasi, atau sekolah (Lie, 1999 : 28).
Dalam konteks di atas, Johnson dan Smith (1991) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning.
Lie (2000 : 90) berpendapat bahwa cooperative learning bertujuan untuk menghasilkan manusia yang bisa berdamai dan bekerja sama dengan sesamanya. Selain itu, suasana yang positif timbul dari metode cooperative learning bisa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencintai pekerjaan dan sekolah. Dalam kegiatan-kegiatan yang menyenangkan ini, siswa merasa lebih terdorong untuk belajar dan berpikir.
Dapat disimpulkan bahwa esensi dari cooperative learning terletak pada tanggung jawab individu, sekaligus kelompok, sehingga dalam diri setiap siswa tumbuh dan berkembang sikap-laku saling ketergantungan (independent) secara positif. Dengan demikian menjadikan belajar melalui kerja sama dalam kelompok akan berjalan seoptimal mungkin. Kondisi ini dapat mendorong siswa untuk belajar, bekerja, dan bertanggung jawab sampai tujuan dapat diwujudkan.

3. Pembelajaran Cooperative Learning Tipe Group Investigation
Sharan tahun 1991 mengembangkan model pembelajaran kooperatif tipe investigasi kelompok atau yang lebih populer dengan istilah group investigation yang semula dirancang oleh Horbert Thelan. Pembelajaran ini dimaksudkan untuk membina sikap tanggung jawab dan bekerja sama dalam kelompok, dan membina sikap saling menghargai pendapat anggota kelompok serta membiasakan untuk berani mengungkapkan pendapat.
Basically, group investigation involves the integration of four essential features : investigation interaction interpretation and intrinsic motivation (Sharan & Sharan, 1992).
Ciri-ciri dari pembelajaran group investigation adalah adanya kegiatan penyelidikan, interaksi hubungan (timbal-balik), interpretasi, dan motivasi diri. Pembelajaran dengan menggunakan model group investigation sangat sesuai dengan filosofi dari Jon Dewey yang menyebutkan bahwa ”The students would have experienced meaningful learning if they have been exposed to the stages of scientific inquiry”. Dengan demikian, melalui pembelajaran ini dapat membantu siswa untuk “learn how to learn” (Sharan & Sharan, 1992).
Untuk menghindari perbedaan pemahaman bebrapa istilah yang digunakan dalam judul dan pernyataan karya tulis perlu diberikan penjelasan sebagai berikut.
a. Kecerdasan bahasa adalah kecerdasan yang memuat kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya. Indikator peningkatan kecerdasan bahasa adalah pertambahan perbendaharaan kosakata, kecakapan dalam mengolah kata, dan bercerita.
b. Metode cooperative learning adalah pembelajaran dalam kelompok-kelompok kecil yang siswanya belajar dan bekerja sama untuk mencapai tujuan seoptimal mugkin.
c. Metode cooperative learning tipe group investigation adalah salah satu tipe dari pembelajaran cooperative learning yang mengajak siswa untuk berperan serta dalam penentuan topic, kebebasan dalam mengemukakan pendapat, dan menuntut siswa untuk melakukan kerja sama dengan anggota kelompoknya.

1. Alasan Pemilihan Strategi Pemecahan Masalah
Ada beberapa alasan pemilihan strategi pemecahan masalah dalam penerapan metode cooperative learning tipe group investigation :


a. Bagi Anak / Siswa
1. Meningkatkan kecerdasan bahasa
2. Menanamkan sikap emosional yang baik pada anak dalam melakukan kerja sama
3. Meningkatkan kemampuan siswa untuk berbicara secara lancar
4. Meningkatkan kekayaan kosakata siswa
5. Meningkatkan kemampuan siswa dalam mengungkapkan ide atau gagasan
6. Meningkatkan kemampuan siswa dalam menceritakan isi cerita tentang gambar yang ada secara berurutan
7. Meningkatkan makna kerja sama
b. Bagi Guru
1. Menambah wawasan guru tentang metode pembelajaran yang bisa diterapkan di Taman Kanak-kanak
2. Meningkatkan keterampilan dalam penggunaan metode yang tepat dalam proses pembelajaran
3. Meningkatkan keterampilan guru dalam memilih alat pembelajaran yang tepat
4. Meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan kualitas profesional guru dalam melakukan pembelajaran
5. Meningkatkan minat untuk melakukan pembaharuan / inovatif
6. Meningkatkan pemahaman tentang metode

2. Hasil atau Dampak Yang Dicapai
Dari penerapan metode cooperative learning tipe group investigation diperoleh hasil atau dampak sebagai berikut :
a. Anak dapat bekerja sama dengan baik oleh semua kelompoknya
b. Anak dapat berbicara lancar dalam menceritakan gambar
c. Anak mempunyai kekayaan kosakata
d. Anak mempunyai kemampuan mengungkapkan ide / gagasan cerita
e. Anak dapat menceritakan gambar secara urut
3. Kendala-Kendala Yang Dihadapi
Ada beberapa kendala dalam penerapan metode cooperative learning tipe group investigation sebagai berikut :
a. Anak masih malu dan belum terbiasa untuk bercerita di depan kelas
b. Anak masih merasa belum terbiasa mengutarakan ide atau gagasannya
c. Anak masih sulit menggunakan kosakata dalam kegiatan berbicara dan bercerita
d. Yang berani maju ke depan kelas belum semuanya

4. Faktor-Faktor Pendukung
Ada beberapa faktor pendukung terlaksananya penerapan metode cooperative learning tipe group investigation sebagai berikut :
a. Silabus
Silabus merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kegiatan pembelajaran pengelolaan kelas yang digunakan sebagai landasan dalam penyusunan RPP.
b. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
RPP adalah perangkat pembelajaran yang digunakan sebagai pedoman guru dalam mengajar dan disusun tiap putaran. Dalam RPP, memuat kompetensi dasar, indikator pencapaian hasil belajar, tujuan pembelajaran, skenario pembelajaran, alat peraga, penilaian, dan kegiatan belajar mengajar.
c. Lembar Observasi Siswa
Lembar obsevasi ini digunakan untuk memantau setiap perkembangan siswa mengenai kemampuan bercerita yang menjadi patokan dalam pengukuran tingkat kecerdasan bahasa siswa.
d. Lembar Observasi Guru
Lembar observasi ini disusun untuk memantau perkembangan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Penguasaan terhadap metode yang dipakai serta penguasaan khas dalam menerapkan metode.

5. Alternatif Pengembangan
Di dalam penerapan metode cooperative learning tipe group investigation ini ada alternatif pengembangan yaitu :
a. Penerapan metode cooperative learning tipe group investigation karena dapat meningkatkan kemampuan berbahasa siswa maka perlu dimanfaatkan dan disosialisasikan kepada guru atau TK lain.
b. Pembelajaran dengan menggunakan metode cooperative learning tipe group investigation mampu mengarah kecerdasan emosi anak, hubungan dengan orang lain, membiasakan anak untuk bekerja sama dalam kelompok kecil maka perlu ditingkatkan dan disosialisasikan kepada guru atau TK lain.
c. Penerapan metode cooperative learning tipe group investigation karena dapat menambah wawasan guru dalam menerapkan metode dan melatih keterampilan guru dalam mengelola kelas maka perlu ditingkatkan dan disosialisasikan kepada guru atau TK lain.

BAB III
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI OPERASIONAL


1. Simpulan
Bedasarkan hasil penerapan metode cooperative learning tipe group investigation yang telah dilaksanakan di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak, dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode cooperative learning tipe group investigation sangat tepat untuk meningkatkan kecerdasan bahasa siswa melalui kegiatan bercerita. Secara khusus, karya tulis ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Penerapan metode cooperative learning tipe group investigation dapat meningkatkan kemampuan berbahasa siswa di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak.
2. Pembelajaran dengan menggunakan metode cooperative learning tipe group investigation juga mampu mengasah kecerdasan emosi anak, yang berkaitan dengan dengan hubungan dengan orang lain. Karena, metode ini membiasakan anak untuk bekerja sama dalam kelompok kecil.
3. Di samping itu juga dengan penerapan metode cooperative learning tipe group investigation pada TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak menambah wawasan guru dalam memilih strategi dan metode yang tepat untuk diterapkan di kelas dan disesuaikan dengan tujuan dari setiap pembelajaran yang diadakan. Selain itu, melatih keterampilan guru dalam mengelola kelas.

2. Rumusan Rekomendasi Operasional Untuk Implementasi Temuan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan sebelumnya serta data dan bukti nyata yang didapat setelah penerapan metode cooperative learning tipe group investigation yang ternyata mampu mengasah dan meningkatkan kemampuan berbahasa anak serta membekali skill life pada anak, penulis merekomendasikan :
a. Penerapan Lebih Lanjut
Mengingat pelaksanaan penerapan ini hanya berjalan dengan subjek yang cukup banyak dalam satu kelas, penulis atau guru lain diharapkan dapat melanjutkan untuk mendapatkan temuan yang lebih signifikan.
b. Penerapan Hasil Karya Tulis Ilmiah
Mengingat metode cooperative learning tipe group investigation telah terbukti mampu mengasah dan meningkatkan kemampuan berbahasa anak serta membekali skill life pada anak, diharapkan guru lain mau mencoba model pembelajaran ini. Selain itu, selalu mempersiapkan dengan baik sebelum melakukan pembelajaran, seperti metode pendekatan dalam kelas, trik ketika anak mulai jenuh, metode pendekatan dalam memotivasi siswa, dan persiapan-persiapan yang lain.

UPTD PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAH RAGA
KECAMATAN DEMAK KABUPATEN DEMAK
Jl. Diponegoro No. 3 Telp. (0291) 685709 Demak

Nomor : Kepada Yth.
Lampiran : 1 bendel Kepala Dinas Pendidikan Pemuda
Perihal : Pengesahan dan Olah Raga Kabupaten Demak



Berdasarkan hasil pengamatan kami dilapangan bahwa karya tulis yang berjudul : Penerapan Metode Cooperative Learning Tipe Group Investigation Dalam Rangka Meningkatkan Kecerdasan Bahasa di TK Pertiwi Bango Kecamatan Demak Kabupaten Demak Tahun 2010, yang dibuat oleh :

N a m a : KUSTI’AH, S.Pd
N I P : 19650620 198702 2 003
Tempat Tanggal Lahir : Demak, 20 Juni 1965
Pangkat / Golongan Ruang : Pembina IVa
J a b a t a n : Kepala Taman Kanak-Kanak
Unit Kerja : TK Pertiwi Desa Bango UPTD Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kecamatan Demak Kabupaten Demak

Benar-benar murni hasil karyanya.
Demikian hasil pengamatan, semoga dapat dipergunakan semestinya.


Demak, Mei 2010
K e p a l a


KHOLIDIN, SH.MM
NIP. 19630416 1988 1 006

DAFTAR PUSTAKA


Abdurrahman, M & Bintoro, T. 2000. Memahami dan Menangani Siswa dengan Problem Belajar. Jakarta : Depdiknas.
Anam, K. 2000. Implementasi Cooperative Learning dalam Pembelajaran Geografi, Adaptasi Model Jigsaw dan Field Study. Buletin Pelangi Pendidikan. 3 (2) 1 – 3.
Dhieni Nurbiana, 2005. Metode Pengembangan Bahasa. Pusat Penerbitan Universitas Terbuka : Jakarta.
Lie, A. 2000. Cooperative Learning : Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta : Grasindo.
Mustaji. 2000. Pengembangan Desain Pembelajaran dengan Pendekatan Konstruktivistik pada Mata Pelajaran Kuliah Difusi Inovasi Pendidikan. Tesis Dalam. Malang PPS Universitas Negeri Malang.
Sharan, Y. & Sharan, S. 1994. Group Investigation in the Cooperative Classroom. In :
Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning Theory and Practice. Boston : Allin and Bacon.
Tim PG-PAUD Universitas Terbuka. 2009. Analisis Kegiatan Pengembangan Pendidikan Anak Usia Dini. Universitas Terbuka : Jakarta.

PELAKSANAAN OTONOMI DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 DI KABUPATEN DEMAK

PELAKSANAAN OTONOMI DESA BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004
DI KABUPATEN DEMAK

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum
Dosen Pengampu : H. Jawade Hafidz, SH.MH





Disusun oleh :
KUSTI’AH
MH.09.15.0794



PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2 0 1 0

DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL i
DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Analisis 2
C. Tujuan Analisis 3
D. Manfaat Analisis 3

BAB II ANALISIS 4
A. Pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak 6
B. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Otonomi Desa 7

BAB III PENUTUP 9
A. Simpulan 9
B. Saran 9

DAFTAR PUSTAKA 10

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam pemerintahan daerah sangat berkaitan erat dengan desentralisasi. Baik pemerintahan daerah, desentralisasi maupun otonomi daerah adalah bagian dari suatu kebijakan dan praktek penyelenggaraan pemerintahan. Tujuannya adalah demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang bisa hidup tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di bidang pelayanan masyarakat.
Otonomi daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menawarkan berbagai macam paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berbasis pada filosofi keaneka ragaman dalam kesatuan. Paradigma yang ditawarkan antara lain :
1. Kedaulatan rakyat
2. Demokrasi
3. Pemberdayaan Masyararakat
4. Pemerataan dan Keadilan
Dengan diundangkannya Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah untuk diterapkan sebagai payung hukum pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia, dapat memberikan implikasi yang besar bagi pelaksanaan pemerintahan di daerah termasuk juga pemerintahan desa.
Konsep tentang definisi desa sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa yaitu untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup :
a. Urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa.
b. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa disertai pembeayaannya; yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan dan pemberdayaan masyarakat.
c. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan / atau Pemerintah Kabupaten / Kota; yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada Desa.

B. Rumusan Analisis
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ?
2. Faktor-faktor apakah yang menjadi pendukung dan / atau penghambat pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ?




C. Tujuan Analisis
Tujuan dilaksanakannya analisis ini adalah :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi pendukung dan / atau penghambat pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

D. Manfaat Analisis
Analisis ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran akademis yakni diharapkan menemukan konsep-konsep baru dalam ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya yang berkenaan dengan pelaksanaan otonomi desa.

BAB II
ANALISIS


Dasar pemikiran dari Otonomi Daerah adalah bahwa Negara Indonesia adalah merupakan negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Dalam penyelenggaraan Pemerintahan harus memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian Otonomi Daerah adalah merupakan kebijaksanaan yang sangat sesuai dengan asas desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi daerah dilaksanakan dalam rangka menerapkan asas desentralisasi dalam Pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom merupakan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi diartikan sebagai pemerintahan kebebasan atas kemandirian (zelfstandigheid) bukan kemerdekaan (onafthankelijkheid), sedangkan otonomi daerah sendiri memiliki beberapa pengertian sebagai berikut :
1. Kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus sedaerah dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri dan pemerintahan sendiri.
2. Pendewasaan politik rakyat lokal dan proses penyejahteraan rakyat.
3. Adanya pemerintahan lebih atas memberikan atau menyerahkan sebagian urusan rumah tangganya kepada pemerintah bawahannya. Sebaliknya pemerintah bawahan yang menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakan urusan tersebut.

4. Pemberian hak, wewenang dan kewajiban kepada daerah memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.
Otonomi nyata diartikan sebagai keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab berarti perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam bentuk tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa; dimana keberadaannya berhubungan langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan, Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Perdes), merencanakan pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreatifitas dan inovasi masyarakat dalam mengelola dan menggali potensi yang ada sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharakan dapat menjelma menjadi desa-desa otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya.
Keberhasilan pelaksanaan Otonomi Desa ditandai dengan semakin mampunya Pemerintah Desa memberikan pelayanan kepada masyarakat dan membawa kondisi masyarakat ke arah kehidupan yang lebih baik. Dengan terselenggaranya Otonomi Desa, maka hal itu akan menjadi pilar penting Otonomi Daerah, Keberhasilan Otonomi Daerah sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya Otonomi Desa. Melalui pengertian tersebut, prinsip utama otonomi desa adalah kewenangan membuat keputusan-keputusan sendiri melalui semangat keswadayaan yang telah lama dimiliki oleh desa, dalam satu kesatuan wilayah pedesaan.
Selayaknya desa dipercaya untuk mengurus dirinya dalam unit wilayah kelola desa melalui peraturan yang dibuat secara mandiri. Ciri paling kuat pemerintahan desa-desa tradisional di Indonesia adalah adanya peranan dana swadaya dan gotong royong. Dua ciri tersebut merupakan modal sosial yang jauh lebih penting (dan potensial) ketimbang modal keuangan.
Modal sosial sebagai potensi kemandirian dan sumber daya alam sebagai sumber pendapatan adalah landasan berkembangnya ekonomi rakyat dan kemandirian desa guna mencapai otonomi.
1. Pelaksanaan Otonomi Desa di Kabupaten Demak berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu bahwa secara materi hukum pemerintah Kabupaten Demak telah melaksanakan materi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Pada dasarnya UU tersebut masih berlaku dan relevan pada saat ini. Hal tersebut dibuktikan dengan telah dibuat / ditetapkannya 7 (tujuh) Peraturan Daerah (Perda) sebagai dasar hukum pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Ketujuh Peraturan Daerah (Perda) tersebut adalah :
- Perda No. 1 Th. 2007 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Penetapan dan Pengesahan Badan Permusyawaratan Desa.
- Perda No. 2 Th. 2007 Tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan, Pengesahan, Pelantikan, Pemberhentian Sementara dan Pemberhentian Kepala Desa.
- Perda No. 3 Th. 2007 Tentang Tata Cara Pengangkatan, Pemberhentian Sementara dan Pemberhentian Perangkat Desa.
- Perda No. 4 Th. 2007 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Demak Nomor 8 Tahun 2001 Tentang Lelangan Tanah Desa dan Dana Perimbangan Keuangan Antar Desa di Wilayah Kabupaten Demak.
- Perda No. 6 Th. 2007 Tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.
- Perda No. 8 Th. 2007 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Desa dan Perangkat Desa.
- Perda No. 9 Th. 2007 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa dan Keputusan Kepala Desa.
2. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Otonomi Desa dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
a. Hal-hal positif yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan faktor-faktor yang mendukung Pelaksanaan Otonomi Desa adalah sebagai berikut :
- Berkaitan dengan makna Desa bahwa Desa sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan pengertian tersebut di atas sangatlah jelas bahwa pemerintahan desa tidak lagi diarahkan pada self governing community.
- Berkaitan dengan kewenangan Desa bahwa Desa diberikan kewenangan untuk mengurusi urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota dan tugas pembantuan dari pemerintah dan pemerintah daerah.
- Berkaitan dengan Pemilihan Kepala Desa secara langsung yang berarti masyarakat dapat memilih Kepala Desanya sesuai yang dikehendaki yang mereka anggap mampu membawa desanya lebih maju dari sebelumnya.
- Keberadaan Sekretaris Desa dari unsur PNS, dengan diambil / diangkatnya Sekretaris Desa dari unsur Pegawai Negeri Sipil, maka kegiatan kepemerintahan akan dapat dikelola sesuai prinsip manajemen pemerintahan yang baik.
b. Hal-hal terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan faktor-faktor yang menghambat Pelaksanaan Otonomi Desa adalah sebagai berikut :
- Pengaturan mengenai Desa dalam Undang-Undang yang baru dapat dianggap memiliki semangat sentralistik karena hanya memperkuat eksekutif (pemerintah desa) kemudian gagasan tentang otonomi desa akan menjadi semakin kabur.
- Kekuasaan kepala desa yang selama ini menjadi ”raja kecil” akan dapat semakin kuat karena kewenangan kepala desa menjadi sangat besar dan tidak adanya kontrol dari rakyat yang selama ini menjadi salah satu fungsi Badan Perwakilan Desa. Kekhawatiran lain adalah berpindahnya fungsi kontrol ke tangan Camat selaku perangkat daerah bisa menimbulkan pola ABS (Asal Bapak Senang).
- Terjadinya penghilangan hak otonomi rakyat karena adanya peluang desa menjadi kelurahan dan kekayaan desa tersebut menjadi kekayaan daerah yang dikelola oleh kelurahan.

BAB III
PENUTUP


1. Simpulan
Secara umum pelaksanaan otonomi desa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sudah sesuai dengan materi yang telah ada, tetapi faktor utamanya terkait penentuan kebijakan pemerintah daerah dalam pengaturan desa yang untuk masa sekarang perlu melibatkan unsur Kecamatan sebagai kepanjangan tangan pemerintah daerah di wilayah, untuk disampaikan kepada pemerintah desa meskipun secara garis koordinasi kepala desa bertanggung jawab kepada Bupati.

2. Saran
- Untuk masalah faktor-faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan otonomi desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu disempurnakan.
- Perlu adanya pembinaan aparat desa secara komprehensif secara rutin dan secara periodik dengan melibatkan aparat Kecamatan dan Kabupaten serta aparat terkait melalui pembentukan tim pembina desa dengan sasaran penggunaan dana perimbangan desa yang dirasa banyak sekali persoalan dalam pelaksanaannya serta penataan administrasi desa secara umum.

DAFTAR PUSTAKA


Saddu Wasistono, 2001, Kapita Selekta Manajemen Pemerintah Daerah, Alqapriat Jatinangor Sumedang, h.6.

Bayu, Suryaningrat, 1976, Pemerintahan dan Administrasi Desa, Ghalia Yayasan Beringin KORPRI Unit Depdagri, Bandung.

Christine S.T. Kansil, Pemerintahan Daerah di Indonesia (Hukum Administrasi Daerah 1903 – 2001), Sinar Grafika, Jakarta.

Arikunto, Suharsimi, 2003, Manajemen Penelitian, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Bhenyamin Hoessen, 1995, Berbagai Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II. Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dari Segi Ilmu Administrasi Negara. Desertasi untuk Gelar Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1993 dan Desentralisasi Dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, UI, Jakarta.

Pemerintah Kabupaten Demak, 2000, Perda Kabupaten Demak No. 20 Th 2000 Tentang Pembentukan, Penghapusan, Pemecahan dan Penggabungan Kelurahan, Bagian Hukum Kabupaten Demak.

Pemerintah Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah.

Pemerintah Republik Indonesia, 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah.

Sekretariat Daerah, 2007, Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Demak Tahun 2007, Bagian Hukum Kabupaten Demak.

Bagian Hukum dan Perundang-Undangan Sekretariat Daerah Kabupaten Demak, 2006, Peraturan Pemerintah Daerah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Kelurahan, Demak.

MENGINGAT, MENGUMPULKAN DAN MEMBUKA KEMBALI HUKUM DAN PARADIGMA DI INDONESIA

MENGINGAT, MENGUMPULKAN DAN MEMBUKA KEMBALI HUKUM DAN PARADIGMA DI INDONESIA
MAKALAH
Disusun guna untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Teori Hukum
Dosen Pengampu : Dr. H. MUSTAGHFIRIN SH.M.Hum







Disusun oleh :
KUSTI’AH
MH. 09.15.O794

PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2010

DAFTAR ISI
Halaman
Judul i
Daftar isi ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Permasalahan 2
BAB II . PEMBAHASAN MASALAH 3
A. Hukum dan Paradigma 5
B. Aliran-aliran hukum dan tori-teori hukum 9
BAB III PENUTUP 18
A. Simpulan 18
B. Saran 18
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perlu cara untuk memandu sesorang agar memperoleh gambaran yang jelas tentang apa hukum itu. Banyak literatur yang mencoba memecahkan persoalan ini, demikian halnya dengan teori dan filsafat hukum. Keragamanan tidak harus membingungkan, paling tidak menurut tulisan dalam buku ini akrena pada dasarnya argumentasi tertentu bertolak dari cara berpikir yang tidak seragam yang dilator belakangi oleh pendidikan serta kehidupan seharai-hari yang berbeda pula.
Dilihat dari perkembangan aliran pemikiran (hukum) satu aliran pemikiran akan bergantung pada aliran pemikiran lainnya sebagai sandaran kritik untuk membengun kerangka teoritik berikutnya. Munculnya aliran pemikiran baru tidak otomatis bahwa aliran atau pemikran lama ditinggalkan. Sulitnya untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam hukum, karena dua alasan yaitu :
- Hukum adalah objek kajian yang masih harus dikonstruksi (dibangun) sebagaimana kaum konstrukvitis menjelaskan, diciptakan menurut istilah positivistic atau menggunakan bahasa kaum hermeniam ‘ditafsirkan’ sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang hukum akan ditentukan oleh bagimana orang tersebut mengonstruksi, menciptakan atau menafsirkan mengenai apa yang disebut hukum itu.
- Satu pemikiran (aliran tertentu) akan memiliki latar belakang atau sudut pandang yang berbeda dengan aliran (pemikiran) lain, ini merupakan ragam kelemahan dan keunggulan masing-masing. Kondisi ini pada dasarnya memberikan keleluasaan karena hukum akan menjadi wilayah terbuka yang mungkin saja hailnya lebih positif.
Kata ‘hukum’ digunakan banyak orang dalam cara yang sangat umum sehingga mencakup seluruh pengalaman hukum, betapapun bervariasinya atau dalam konteksnya yang sederhana. Namun dalam sudut pandang yang paling umum sekalipun, hukum mancakup banyak aktivitas dan ragam aspek kehidupan manusia. Seberapa penting pertanyaan itu diajukan, terdapat alas an tertentu tetapi tentu saja sepeerti yang dijelaskan oleh Nonet-Selznick gambaran hukum pada dasarnya menarahkan kepada sekumpulan orang buta yang berkerumun untuk memegang gajah. Namun pada prinsipnya devinisi hukum diharapkan mampu memberikan penjelasan terhadap teori yang telah disusun sebagaimana dijelaskan bahwa sebaiknya devinisi harus memiliki hubungan analitis dengan konteks teori yang lebih luas. Teori hukum, menurut Bruggink, adalah merupakan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang telah dipositifkan.
Sebagaimana teori pada umumnya, demikian pula teori hukum mempunyai makna ganda yaitu teori hukum sebagai produk dan teori hukum sebagai proses. Teori hukum dikatakan sebagai produk, sebab rumusan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan adalah merupakan hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Sedangkan Teori hukum dapat dikatakan sebagai proses, adalah karena teori hukum tersebut merupakan kegiatan teoritik tentang hukum atau bidang hukum.

B. Permasalahan

1. Apakah hukum dan paradigma ?
2. Bagaimana aliran-aliran hukum dan teori-teori hukumnya?




BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
Menurut Smith dalam penjelasannya bahwa hukum seyogyanya dilihat sebagai model jaringan yang memiliki posisi atau kedudukan sederajat dengan disiplin lain. Karena itu hukum harus memiliki kemampuan yang setara atau bahkan lebih dari disiplin lain itu untuk menyelesaikan problem baik kedalam (ilmu itu sendiri atau teoritis) maupun keluar (praktis atau pragmatis). Kedua, dengan posisinya itu berarti hukum manjadi wilayah yang bersifat terbuka dan peka, artinya hukum bukan semata-mata wilayah yang steril namun sebuah sebuah wilayah yang bersifat multi dan interdisipliner sehingga perubahan yang terjadi dalam dunia ilmu (pada umumnya) harus bisa dicerna (dirasakan pengaruhnya) oleh hukum, demikian pula sebaliknya.
1. Hukum Sebagai Jaringan
Ada semacam perdebatan yang terus berlangsung dlaam ranah keilmuan hukum, apakah hukum sebagai ilmu atau bukan, ini semacam problem filosofi yang apabila dicarikan jawabannya akan berputar-putar seperti lingkaran tak berujung. Sebagai bagian dari jaringan (dalam) ilmu pengetahuan, maka syarat keilmua harus melekat didalamnya, tidak hanya itu, sebagai jaringan , ruang komunikasi harus terbukasedemikian rupa sehingga hukum dapat memecahkan problem bersihat lintas disiplin.
2. Hukum Sebuah Wilayah Terbuka.
Secara teoritis maupun praktis hukum sebagai sebuah disiplin hendaknya memiliki model analisis dan mampu menyelesaikan ragam persoalan. Sebagai wilayah yang terbuka hukum menjadi domain bagi telaah disiplin lain, sebagaimana deskripsi Satjipto Rahardjo bahwa ilmu hukum berkembang dari yang terkotak-kotak menuju holistic (Teching Orders finding Disorder).
Memahami hukum berarti memahami manusia, ini merupakan bukan semata-mata gambaran secara umum tentang hukum yang ada selama ini, pandangan yang mengarah kepada “the man behin the gun” membuktikan bahwa actor dibelakang memegang peran yang lebih dominant dari sekedar persoalan struktur. Apabila Cicero mengatakan bahwa ada masyarakat ada hukum, maka yang sebenarnya dia bicarakan adalah hukum hidup ditenga-tengah masyarakat (manusia). Hukum dan manusia memiliki kedekatan yang khas dan tidak dapat dipisahkan, artinya tanpa manusia hukum tidak dapat disebut sebagai hukum. Dalam hukum manusia adalah sebagai actor kreatif, manusia membangun hukum, menjadi taat hukum namun tidak terbelenggu oleh hukum.
Terdapat pemehaman bahwa istilah teori bukanlah sesuatu yang harus dijelaskan tetapi sebagai sesuatu yang sesuatu yang seolah-olah sudah dipahami maknanya. Bahkan teori sering ditafsirkan sebagai istilah tanpa makna apabila tidak berkait dengan kata yang menjadi padanannya. Ada kesimpang siuran atau tumpang tindih dalam penggunaan istilah teori, misalnya dengan istilah ‘model,. ‘aliran’, ‘paradigma’, dogma, ‘doktrin’ dan istilah lainnya. Pada tataran tertentu pangguaan istila ‘teori’ banyak yang tidak tepat dan asal-asalan, hanya untuk memberikan kesan bahwa hal itu terlihat ilmiah. Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengenai itu, diantaranya :
- Istilah teori bukan lagi makna ekslusifini yang digunakan dalam ilmu pengetahuan untuk menjelasan fenomena atau keadaan tertentu namun lebih merupakan istilah umum yang dibicarakan oleh siapa saja.
- Kerumitan dan sedemikian tipisnya batasan makna yang terkandung didalam banyak peristilahan yang disebutkan diatas, sehingga menimbulkan kekeliruan atau tumpang tindih dalam penggunaannya.
- Merupakan hal yang penting, seberapa ketat sebetulnya setiap orang menggunakan istilah ini dalam kajian keilmuannya artinya seberapa jauh dia terikat untuk menggunakannya sesuai dengan pakem yang ada atau sebaliknya.
Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti “perenungan”, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dari kata dasar thea ini pula dating ata modern “teater” yang berarti “pertunjukan” atau “tontonan”. Dalam banyak literatur beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukan bangunan berpikir yang tersusun sistematis, logis, empiris juga simbolis. Berikut beberapa pengertian teori secara luas :
1. Pemahaman tentang hal-hal dalam hubungannya yang universal dan ideal antara satu sama lain. Berlawanan dengan eksistensi factual dan/atau praktek.
2. Prinsip abstrak atau umum didalam tubuh pengetahuan yang menyajikan suatu pandangan yang jelas dan sistematis tentang beberapa materi pokoknya, sebagaimana dalam teori seni dan teori atom.
3. Model atau prinsip umum, abstrak dan ideal yang digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala, sebagaimana dala teori seleksi alam.
4. Hipotesis, suposisi atau bangun yang dianggap betul dan yang berlandaskan atasnya gejala-gejala dapat diperkirakan dan/atau dijelaskan dan yang darinya didedukasikan pengetahuan yang lebih lanjut.
5. Dalam filsafat ilmu pengetahuan, teori berpijak pada penemuan fakta-fakta maupun hipotesis. Dalam bidang ilmu alam, suatu deskripsi dan penjelasan fakta yang didasarkan atas hukum-hukum dan sebab-sebab niscaya, mengikuti konfirmasi fakta-fakta itu dengan pengalaman dan percobaan (eksperimen). Deskripsi ini sifatnya pasti, nonkontradiksi, dan matematis.
Hukum adalah sebuah wilayah dimana setiap orang harus mengkonstruksi, menciptakan atau menafsirkan (sesuatu yang artificial), barulah kemudian dia akan mempu menjelaskan apakah hukum itu.
A. Hukum dan paradigma
Memahami Permainan Bahasa perlu cara untuk memandu sesorang agar memperoleh gambaran yang jelas tentang apa hukum itu. Banyak literatur yang mencoba memecahkan persoalan ini, demikian halnya dengan teori dan filsafat hukum. Keragamanan tidak harus membingungkan, paling tidak menurut tulisan dalam buku ini akrena pada dasarnya argumentasi tertentu bertolak dari cara berpikir yang tidak seragam yang dilator belakangi oleh pendidikan serta kehidupan seharai-hari yang berbeda pula.
Dilihat dari perkembangan aliran pemikiran (hukum) satu aliran pemikiran akan bergantung pada aliran pemikiran lainnya sebagai sandaran kritik untuk membengun kerangka teoritik berikutnya. Munculnya aliran pemikiran baru tidak otomatis bahwa aliran atau pemikran lama ditinggalkan. Sulitnya untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam hukum, karena dua alasan yaitu :
- Hukum adalah objek kajian yang masih harus dikonstruksi (dibangun) sebagaimana kaum konstrukvitis menjelaskan, diciptakan menurut istilah positivistic atau menggunakan bahasa kaum hermeniam ‘ditafsirkan’ sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang hukum akan ditentukan oleh bagimana orang tersebut mengonstruksi, menciptakan atau menafsirkan mengenai apa yang disebut hukum itu.
- Satu pemikiran (aliran tertentu) akan memiliki latar belakang atau sudut pandang yang berbeda dengan aliran (pemikiran) lain, ini merupakan ragam kelemahan dan keunggulan masing-masing. Kondisi ini pada dasarnya memberikan keleluasaan karena hukum akan menjadi wilayah terbuka yang mungkin saja hailnya lebih positif.
Kata ‘hukum’ digunakan banyak orang dalam cara yang sangat umum sehingga mencakup seluruh pengalaman hukum, betapapun bervariasinya atau dalam konteksnya yang sederhana. Namun dalam sudut pandang yang paling umum sekalipun, hukum mancakup banyak aktivitas dan ragam aspek kehidupan manusia.
Memahami paradigma , Dalam bahasa Inggris “paradigm”, dari bahasa Yunani “paradeigma” , dari “para” (disamping, disebelah) dan “dekynai” (memperlihatkan ; yang berarti ; model contoh, arketipe, ideal). Menurut Oxfor English Dictionary “paradigm” atau paradigma adalah contoh atau pola. Akan tetapi didalam komunitas ilmiah paradigma dipahami sebagai sesuatu yang lebih konseptual dan signifikan, meskipun bukan sesuatu yang tabu untuk diperdebatkan.
Konsep paradigma yang diperkenalkan oleh Khun kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam sosiologi. Konsep paradigma Khun lebih kepada sesuatu yang bersifat “metateoritis”. Chalmers sendiri menjelaskan tentang karakteristik paradigma, yang meliputi :
- Tersusun oleh hukum-hukum paradigma dimaksud dan asumsi-asumsi teoritis yang dinyatakan secara eksplisit.
- Mencakup cara-cara standar bagi penerapan hukum-hukum tersebut kedalam beragam situasi dan kondisi.
- Mempunyai instrumentasi dan teknik-teknik instrumental yang diperlakukan guna menjadikan hukum-hukum tersebut berjaya didunia nyata.
- Terdiri dari beberapa prinsip metafisika yang memandu segala karya dan karsa didalam lingkup paradigma dimaksud.
- Mengandung beberapa ketentuan metodologis.
Paradigma Dominan dalam Ilmu.
Dari sekian banyak paradigma dominant dalam ilmu, paling tidak dapat dijelaskan ada tiga paradigma yang dominan yaitu positivisme, interpretivisme, dan critical studies. Namun demikian mendampingi ketiga paradigma tersebut ada dua paradigma besar lainnya yaitu feminisme dan post modenisme.
Paradigma Ilmu Hukum.
Soetandyo Wignyosoebroto, menjelaskan tentang paradigma penting dalam hukum yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Paradigma Positivistik.
Aliran filsafat yang berkembang di Eropa Kontinental (khususnya Perancis) dengan beberapa eksponen terkenal diantaranya Henri Saint Simon dan August Comte.
Positivisme merupakan paham yang menganut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai sesuatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam pra-konsepsi metafisis yang subyektif sifatnya.Disini hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai atas moral meta yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex.Paling tidak ada dua positivisme hukum sebagaimana dijelaskan Khuzaifah Dimyati, yaitu positivisme yuridis (bahwa hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu dioleh secara ilmiah) dan positivisme sosiologis (hukum ditanggapi terbuka bagi kehidupan masyarakat, yang harus diselidiki melalui metode-metode ilmiah).
2. Paradigma Pasca-Positivistik ; Realitas Dekonstruksi Melalui Interaksi.
Melepaskan diri dari karakteristik berpikir kaum posivistik, muncul pemikiran yang oleh Colin disebut kaum social contructivist. Meski kaum ini memiliki keleluasan dalam ragam kajiannya tetapi paling tidak ada delapan posisi argumentative sebagaimana dikatakan Soetandyo Wignyosoebroto, yaitu etnometodologi, relativisme budaya, konstruktivisme sosial Bergerian, relativitas linguistic, fenomenologi, simbolisme fakta sosial, paradigma konvensi, dan juga termasuk paradigma argumentative yang hermeneutic.
3. Paradigma Hermeneutik.
Kajian atau paradigma Hermeneutik atau yang sering disebut interpreatif mencoba membebaskan kajian-kajian hukum dari otorianisme para yuris positif yang elitis secara jelas dan tegas menolak paham universalisme dalam ilmu hukum, khususnya ilmu yang berseluk beluk dengan objek manusia berikut masyarakat, gantinya relativisme itu yang diakui. Kajian atau paradigma hermeneutik dalam ilmu hukum membuka kesempatan kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat demi kepentingan profesi yang ekslusif semata. Pendekatan ini dengan strategi metodologisnya menganjurkan to learn from people, mengajak para pengkaji hukum dari perspektif para pengguna atau pencari keadilan.


B. Aliran-aliran hukum dan teori-teori hukumnya
Sebagaimana disebutkan bahwa teori senantiasa berkaitan dengan apa yang disebut realitas. Apabila ditelaah secara historis bahwa realitas dapat dipandang dari bebrapa sudeut pandang sebagai berikut :
- Dimana realitas adalah sesuatu yang hanya dapat ditangkap lewat kapasitas akal budi (ide, gagasan, esensi).
- Realitas berkaitan dengan sesuatu yang bersifat actual, nyata, ada dan objektif yang hanya dapat dikenali dan dipahami lewat mekanisme intuisi dan indra.
- Dan terakhir yaitu sebuah realitas yang muncul ketika sains dan tekhnologi dengan kecanggihannya mampu menciptakan sebuah dunia artificial, yaitu realitas yang tidak dapat dimasukan pada kedua relitas yang disebutkan diatas karena telah melampaui batas realitas yang ada (hyper reality).
Beberapa ahi berkeyakinan, sebuah teori dapat dibuktikan benar atau salah. Hal ini (kebanyakan) didasarkan kepada pertimbangan filsafat dan logika, sedangkan selebihnya didasarkan pada analisis terperinci tentang sejarah (ilmu) dan tentang teori-teori ilmiah modern.
Namun klaim (pandangan) tersebut tidak dapat diterima begitu saja, karena sebagaimana dikatakan sebagian ilmuwan masa kini, teori ilmiah tidak dapat dibuktikan konklusif benar atau salah dan bahwa rekonstruksi para filsuf hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan apa yang terjadi secara actual dalam ilmu. Seperti pendapat Paul Feyeraben “ilmu tidak mempunyai segi-segi istimewa yang dapat menyatakan dirinya mempunyai keunggulan secara hakikat terhadap cabang-cabang pengetahuan lain seperti mitos purba atau voodoo”.

1. Induksi dari Alam Pengalaman
Menurut pandangan ini teori ditarik secara ketat dari fakta (di alam pengalaman) yang diperoleh melalui teknik observasi dan atau eksperimen. Dan pada dasarnya cara penarikan teori dari alam pengalaman ini dapat disebut cara induksi. Sebagaimana aliran Postivisme Logikal menyebutkan bahwa suatu teori tidak hanya dibenarkan sejauh ia dapat dibuktikan dengan fakta-fakta yang diperoleh melalui obsrevasi, tetapi juga dipertimbangkan mempunyai makna.
2. Deduktif Hipotesis.
Bagi pandangan ini, teori tidaklah sesuatu yang begitu saja dpaat diambil dari hasil pengamatan (observasi) tetapi lebih jauh dari pada itu pandangan ini menyatakan pentingnya penarikan hipotesis yaitu menyusun pernyataan logis yang menjadi dasar untuk penarikan kesimpulan atau deduksi mengenai hubungan antara benda-benda tertentu yang sedang diselidiki. Karena pandanagn ini berpendpat bahwa hipotesis dapat menolong memberikan ramalan dan menenukan fakta baru.
3. Program Riset Lakatosian.
Pandangan Imre Lakatos menjelaskan tantang usaha menganalisis teori-teori sebagai struktur terorganisasi. Program riset Lakatosian adalah struktur yang memberikan bimbingan untuk riset di masa depan dengan cara positif (bimbingan garis besar yang memperlihatkan bagaiana program riset dapat dikembangkan) maupun cara negatif (program terperinci yang menetapkan bahwa asumsi dasar yang melandasi program itu).
4. Evolusi Kritis Thomas Kuhn.
Bagi Thomas Khun pandangan tradisonal tentang ilmu baik induktivis maupun falsikasionis semuanya tidak mampu bertahan dalma sejarah. Kemudian teorinya dikembangkan sebagai usaha untuk manjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah sebagaimana dilihat oleh Khun dengan menitik beratkan peran yang dimainkan oleh sifat-sifat sosiologi masyarakat ilmiah.
5. Anti Fundationalis Feyerabend
Pandangan yang cukup provokatif tentang ilmu pengetahuan dijelaskan oleh seseorang yang bernama Paul Feyerabend. Menurutnya tidak ada metodologi ilmu yang pernah dikemukakan selama ini mencapai sukses. Lebih lanjut dikatakan olehnya bahwa mengingat kompleksitas sejarah, maa paling tidak masuk akal untuk mengharapkan bahwa ilmu dapat diterangkan hanya atas dasar beberapa hukum-hukum metodologi ysng sederhana.
Gagasan Feyerabend sering disebut sebagai teori anarkisme epistemelogis yang didalamnya terdapat bentuk anarkisme yang berusaha mempertahankan kemapanan sekaligus menyingkirkan kemapanan. Ia pembela status quo sekaligus anti status quo, hal ini ditempuh untuk memberikan kebebasan bagi perkembangan metode-metode alternative agar manusia dapat mengambil keputusan bebas yaitu mengatur perjuangan antara ideologi-ideologi untuk menjamin setiap individu mempertahankan kebebasan memilih dan tidak ada ideologi yang memaksakan kepadanya secara bertentangan dengan kehendaknya.
Dua Pandangan Besar
Teori hukum tentu berbeda dengan apa yang kita pahami dengan hukum positif. Ada kajian filosofis didalam teori hukum sebagaimana dikatakan Radbruch bahwa tugas teori hukum adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofinya yang tertinggi. Sehingga akan nampak kesulitan untuk membedakannya dengan kajian yang disebut filsafat hukum, karena teroi hukum juga akan mempersalahkan hal mengenai :
- Mengapa hukum berlaku.
- Apa dasar kekuatan mengikatnya.
- Apa yang menjadi tujuan hukum.
- Bagaimana seharusnya hukum itu dipahami, dan sebagainya.
Meski agak rumit untuk memahami semua hal diatas karena ragam teori masing-masing memiliki cara pandangan yang berbeda, dalam tulisan ini dilihat cara pendekatannya ada dua karakteristik besar atau pandangan besar (grand theory) yang keduanya bertolak belakang namun ada dalam satu realitas.


1. Pandangan Pertama.
Pandangan yang didukung oleh tiga argumen yaitu pandangan bahwa hukum sebagai suatu system yang pada prinsipnya dapat diprediksi dari pengetahuan yang akurat tentang konisi sistem itu sekarang, perilaku system ditentukan sepenuhnya oleh baian-bagian yang terkecil dari sistem itu, dan teori hukum mampu menjelaskan persoalannya sebagaiana adanya tanpa keterkaitan dengan pengamatnya. Dalam pandangan yang pertama ini sistem digunakan secara bebas terhadap banyak hal dalam kehidupan, alam semesta, masyarakat, termasuk hukum digambarkan dalam bentuk yang jelas-jelas dapat diakui sebagai istilah mekanisme dan sistem. Dalam pandanagan ini pula berpendapat bahwa kebanyakan teori hukum berpusat pada salah satu dari ketiga jenis sistem (sumber dasar, kandungan dasar dan fungsi dasar)
2. Pandangan Kedua.
Pandangan yang menyatakan bahwa hukum bukanlah sebagai suatu sistem yang teratur tetap merupakan sesuatu yang berkaitan dengan ketidakberaturan, tidak dapat diramalkan, dan bahwa hukum sangat dipengaruhi oleh persepsi pengamat dalam memaknai hukum tersebut. Menurut pandangan ini teori hukum sama sekali tidak berada pada jalur yang disebut sebagai sistem. Pandanagan ini menolak bahwa teori hukum harus selalu bersifat sistematis dan teratur, tetapi sebaliknya dimana teori hukum dapat juga muncul dari situasi yang disebut dengan situasi keos, keserba tidak beraturan, atau situasi yang tidak sistematis. Yang mana semuanya itu adalah gambaran dinamika masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.
B. Teori Hukum dalam Model Hukum Menurut Black dan Dragan Milovanovich.
Donal Black menjelaskan ada dua model hukum, meskipun hal ini bukan berarti seolah-olah hukum dipilih sedemikian rupa sehingga akan menjadi reduksionis, akan tetapi hal ini bertujuan agar dapat mempertajam wilayah analisis terhadap keragaman teori yang sering kali dipahami secara campur aduk, sehingga dengan demikan wilayah itu menjadi jelas ada pada posisi mana apabila seseorang menjelaskan tentang hukum atau teori hukum. Dua model menurut Donal Black yang senada dengan pendapat Dragan Milovanovick, yaitu :
- Jurisprudentie Model.
Dalam model ini kajian hukum lebih memfokuskan kepada produk kebijakan (aturan/rules). Menurut model ini proses hukum berlangsung ditata dan diatur oleh sesuatu yang diosebut sebagai logic (logika/sistem hukum). Hukum dilihat sebagai sesuatu yang bersifat mekanisme dan mengatur dirinya sendiri melalui rules dan logika, dan olehkarenanya penyelesaian masalahpun disini lebih mengandalkan kemampuan logika tadi
- Sociological Model.
Dalam model ini fokus kajian hukum lebih kepada struktur sosial. Kajian ini tentu saja lebih kompleks dari sekedar hukum sebagai produk. Dalam model sosiologi ini yang dipentingkan adalah keragaman dan keunikan dan menempatkan seseorang sebagai penliti agar memudahkan untuk melihat proses secara utuh dengan tujuan akhir untuk menjelaskan fenomena yang ada dalam realitas sebenarnya.
C. Teori Hukum Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke.
Jan Gijssels dan Mark van Hoecke adalah dua pemikir yang ada pada ranah pemikiran kontinental. Menurut mereka teori hukum merupakan disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan Ajaran Hukum Umum. Kesinambungan antara Teori Hukum dengan Ajaran Hukum Umum yaitu :
- Teori hukum sebagai lanjutan dari ajaran hukum umum memiliki obejk disiplin mandiri, suatu tempat diantara Dogmatik Hukum disatu sisi dan Filsafat Hukum disisi lainnya.
- Sama seperti ajaran hukum umum dewasa ini, Teori Hukum setidaknya oleh kebanyakan dipandang sebagai ilmu a normatif yang bebas nilai, ini yang persisnya membedakan Teori Hukum dan Ajaran Hukum Umum dan Dogmatik Hukum.
Untuk memahami apa itu Teori Hukum, khususnya batas-batas wilayahnya persepsi Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, berikut ini penjelasan secara singkat mengenai :
1. Dogmatik Hukum (Rechtsdogmatiek) atau Ajaran Hukum (Rechtsleer).
Dalam ati sempit bertujuan untuk memaparkan dan mensistematisasi serta dalam arti tertentu juga menjelaskan hukum positif yang berlaku. Dogmatik Hukum (Rechtsdogmatiek) atau Ajaran Hukum (Rechtsleer) tidak dapat membatasi pada suatu pemaparan dan sistematis melainkan secara sadar mengambil sikap berkenaan dengan butir-butir yang diperdebatkan jadi Dogmatik Hukum (Rechtsdogmatiek) atau Ajaran Hukum (Rechtsleer) dalam hal-hal yang penting tidak hianya deskriptif melainkan juga perspektif (bersifat normatif).
2. Filsafat Hukum.
Yaitu filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Menurut mereka Filsafat Hukum memiliki telaah meliputi :
- Ontologi Hukum (penelitian tentang hakekat dari hukum)
- Aksiologi Hukum (penentuan isi dan nilai)
- Ideologi Hukum (ajaran idea)
- Epistemologi Hukum (ajaran pengetahuan)
- Teologi Hukum (hal meneetukan makna dan tujuan hukum)
- Ajaran Ilmu dari Hukum (meta-teori dari ilmu hukum)
- Logika Hukum
3. Hubungan Dogmatik Hukum dengan Teori Hukum.
- Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal maka teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini.
- Dogmatik hukum berbicara tentang hukum, teori hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum.
- Dogmatik hukum mencoba lewat teknik-teknik interprestasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak dapat diterapkan pada suatu masalah konkret, maka teori hukum mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interprestasi, tentang sifat memaksa secara logical dari penalaran interprestasi dan sejenisnya lagi.
4. Teori Hukum dan Ilmu Lain yang Objek Penelitiannya Hukum.
Jika teori hukum mewujudkan sebuah meta-teori berkenaan dengan dogamtik hukum maka filsafat hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta-disiplin berkenaan dengan teori hukum.
1. Secara structural teori hukum terhubungkan pada filsafat hukum dengan cara yang sama seperti dogmatika hukum terhadap teori hukum.
2. Filsafat hukum merupakan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan teori hukum.
3. Filsafat hukum sebagai ajaran nilai dan teori hukum dan filsafat hukum sebagai ajaran ilmu dari teori hukum.
4. Filsafat hukum sebagai ajaran ilmu dari teori hukum dan sebagai ajaran pengetahuan mewujudkan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan teori hukum tidak memerlukan penjelasan lebih jauh, mengingat filsafat hukum mangambil sebagian dari kegiatan-kegiatan dari teori hukum itu sendiri sebagai subjek studi.
Teori hukum secara esensal bersifat interdisipliner, hal ini mengandung arti bahwa teori hukum dalam derajat yang besar akan menggunakan hasil-hasil penelitian dari berbagai disiplin yang mempelajari hukum (Sejarah Hukum, Logika Hukum, Antropologi Hukum, Sosiologi Hukum, Psikologi Hukum dan sejenisnya).
Tipikal dari teori hukum bahwa dalam hal ini ia mamainkan peranan mengintegrasikan, baik yang berkenaan dengan hubngan antara disiplin-disiplin ini satu terhadap yang lainnya maupun yang berkenaan dengan integrasi hasil-hasil penelitian dari disiplin-disiplin ini dengan unsur-unsur dogmatika hukum dan filsafat hukum.
D. Teori Hukum Menurut J.J.H. Bruggink.
Bruggink menjelaskan teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan.Menurut Bruggink definisi diatas memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk yaitu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoritik bidang hukum) dan dalam arti proses yaitu kegiatan teoritik tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritik bidang hukum sendiri.Disamping itu teori hukum menurut Bruggink mengandung makna ganda lainnya yaitu dalam arti luas (hal itu menunjuk kepada pemahaman tentang sifat berbagai bagian cabang sub disiplin teori hukum) dan dalam arti sempit (berbicara tentang keberlakuan evaluatif dari hukum, terakhir adalah dogmatika hukum, atau ilmu hukum dalam arti sempit).
Untuk mengulas persoalan diatas lebih jelas berikut akan sedikit diuraikan apa yang menjadi bagian dari teori hukum dalam arti luas, diantaranya sebagai berikut

1. Sosiologi Hukum
Mengarahkan kajian pada keberlakuan empiric atau factual dari hukum, jadi lebih mengarah pada kenyataan kemasyarakatan. Dengan kata lain sosiologi hukun adalah sebagai teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan pada masyarakat. Sosiologi hukum terdiri dari sosiologi hukum empirik dan sosiologi hukum kontempelatif.

2. Dogmatik Hukum
Menurut Bruggink dogmatika hukum adalah ilmu hukum (dalam arti sempt) yang merupakan bagian utama dalam pengajaran pada fakultas-fakultas hukum. Objek dogmatika hukum terutama adalah hukum positif yaitu sistem konseptual atran hukum dan putusan hukum, yang bagian intinya ditetapkan (dipositifkan) oleh para pengemban kewenangan hukum dalam suatu masyarakat tertentu. Perumusan aturan hukum disebut pembentukan hukum, sedangkan pengambilan keputusan hukum disebut penemuan hukum.
3. Teori Hukum dalam Arti Sempit.
Tentang kajian ini nampak belum begitu jelas, karena kajian (studinya) berada pada wilayah dogmatika hukum dan filsfat hukum. Filsafat hukum memang adalah meta-teori untuk teori hukum dan mengingat teori hukum adalah meta-teori untuk dogmatika hukum. Jadi pada dasarnya adalah antara teori yang lebih tinggi dan yang paling rendah pada intinya pengaruh satu sama lainnya.
4. Filsafat Hukum.
Filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridik, karena filsafat hukum membahas masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum, juga saking fundamentalnya sehingga bagi manusia tidak terpecahkan karena masalahnya melampaui kemampuan berpikir manusia.
Bruggink memberikan ikhtisar filsafat hukum objeknya adalah landasan dan batas-batas kaedah hukum, tujuannya adalah teoretikal, perspektifnya internal, teori kebenarannya adalah teori pragmatik dan proposisinya yaitu informatif tetapi terutama normatif dan evaluatif.

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
- Teori hukum adalah merupakan sustu satu kesatuan dari pernyataanyang paling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturab hukum dan putusan-putusan hukum serta sistem tersebut untuk sebagian yang telah di positifkan .
- Teori hukum di katakan sebagai produk, sebab rumusan satu kesatuan dari pernyataan yang salng berkaitan adalah mrupakan hasil kegiatan teoritik bidang hukum .
- Hukum adalah aturan-aturan yang berlaku di suatu daerah atau negara yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi yang tegas.
- Paradigma adalah keyakinan orang sebagai suatu fundamental sustu permasalahan ilmu
- Sebuah teori dapat dibuktikan benar atau salah hal tersebut ( kebanyakan ) didasarka kepada perkembangan filsafat dan logika sedangkan selbihnya didasarkan paa analisis terperinci tentang sejarah (ilmu) dan teori-teori ilmiah modern.

B. Saran
Kebutuhan untuk dapat menampilkan pemikiran hukum indonesia yang sesungguhnya merupakan pekerjaan besar dan membutuhkan kontemplasi dan penelitian yang mendalam, seksama dan memerlukan proses panjang, oleh karena pemikiran hukum yang akan dibangun bukan hanya mengacu pada konsep hukum normatif semata-mata, akan tetapi juga merujuk pada setting sosial, budaya dan politik. Langkah yang perlu ditegaskan adalah bahwa bangsa Inonesia berani menentukan apa yang paling baik bagi bangsa ini, termasuk dalam membangun ilmu hukum yang memiliki karateristik ke-indonesiaan, hal ini disebabkan karena perkembangan sosial bangsa ini berbeda dan model hukum modern itu selalu datang dari luar.



DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu Timur,SH; Analisa Sosiologi Hukum Berdasarkan Meetode Pendekatan dan Fungsi Hukum,www.blogkatalog.com; 2008.
Aji Fia S,Urgensi Kajian Sosiologis Terhadap Hukum;www.fiaji.blogspot.com 2008.
Bruggink, J.J.H. 1996. Refleksi tentang hukum. Bandung: Citr Adtya Bakti. Badan Pembinaan Hukum Nasional Dari Masa ke Masa, BPHN.
Dimyati, Khudzaifah. Prof.Dr.SH,Mhum; Pola Pemikiran Hukum Resposif:Studi Atas Proses Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia;Jurnal Ilmu Hukum,Vol.10 No.1 Tahun 2007.
;2001.D Tengah Kegersangan Pemikiran Teori Hukum: Sepi Dari Wacana Perdepatan, dalam Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammaddiyah Surakarta (Terakreditasi Melalui Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas No. 134/Dikti/Kep/2001).
Paramita Shintta Sarie,SH; Latar Belakang Lahirnya Sosiologi Hukum sebagai Ilmu Pengetahuan, Justitia Omnibus, www. galaxyandromdha.blogspot.com; 2008.
Soekanto Soerjono,Prof.DR.SH,MA. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum,RajaGrafindo Persada;1998.
Warassih Esmi,Prof.Dr.SH,MS; Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis; Suryandaru Utama;2005.