Kamis, 09 Desember 2010

SAATNYA PARADIGMA HUKUM INDONESIA YANG FORMALISTIK DITINGGALKAN MENUJU PARADIGMA HUKUM YANG SOSIOLOGIS

PAPER

Disusun guna untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah Teori Hukum
Dosen Pengampu : ERLYN INDARTI, SH.MA.PhD










Disusun oleh :
KUSTI’AH
MH.09.15.O794


PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2010


DAFTAR ISI


Halaman Judul i
Daftar isi ii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Permasalahan 2
BAB II . PEMBAHASAN MASALAH 3
A. Hukum dan Paradigma 5
B. Paradigma Hukum Indonesia yang Formalistik Ditinggalkan dan Menuju Hukum yang Sosiologis 8
BAB III PENUTUP 14
A. Simpulan 14
B. Saran 14
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Perlu cara untuk memandu sesorang agar memperoleh gambaran yang jelas tentang apa hukum itu. Banyak literatur yang mencoba memecahkan persoalan ini, demikian halnya dengan teori dan filsafat hukum. Keragamanan tidak harus membingungkan, paling tidak menurut tulisan dalam buku ini akrena pada dasarnya argumentasi tertentu bertolak dari cara berpikir yang tidak seragam yang dilator belakangi oleh pendidikan serta kehidupan seharai-hari yang berbeda pula.
Dilihat dari perkembangan aliran pemikiran (hukum) satu aliran pemikiran akan bergantung pada aliran pemikiran lainnya sebagai sandaran kritik untuk membengun kerangka teoritik berikutnya. Munculnya aliran pemikiran baru tidak otomatis bahwa aliran atau pemikran lama ditinggalkan. Sulitnya untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam hukum, karena dua alasan yaitu :
- Hukum adalah objek kajian yang masih harus dikonstruksi (dibangun) sebagaimana kaum konstrukvitis menjelaskan, diciptakan menurut istilah positivistic atau menggunakan bahasa kaum hermeniam ‘ditafsirkan’ sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang hukum akan ditentukan oleh bagimana orang tersebut mengonstruksi, menciptakan atau menafsirkan mengenai apa yang disebut hukum itu.
- Satu pemikiran (aliran tertentu) akan memiliki latar belakang atau sudut pandang yang berbeda dengan aliran (pemikiran) lain, ini merupakan ragam kelemahan dan keunggulan masing-masing. Kondisi ini pada dasarnya memberikan keleluasaan karena hukum akan menjadi wilayah terbuka yang mungkin saja hailnya lebih positif.
Kata ‘hukum’ digunakan banyak orang dalam cara yang sangat umum sehingga mencakup seluruh pengalaman hukum, betapapun bervariasinya atau dalam konteksnya yang sederhana. Namun dalam sudut pandang yang paling umum sekalipun, hukum mancakup banyak aktivitas dan ragam aspek kehidupan manusia. Seberapa penting pertanyaan itu diajukan, terdapat alas an tertentu tetapi tentu saja sepeerti yang dijelaskan oleh Nonet-Selznick gambaran hukum pada dasarnya menarahkan kepada sekumpulan orang buta yang berkerumun untuk memegang gajah. Namun pada prinsipnya devinisi hukum diharapkan mampu memberikan penjelasan terhadap teori yang telah disusun sebagaimana dijelaskan bahwa sebaiknya devinisi harus memiliki hubungan analitis dengan konteks teori yang lebih luas. Teori hukum, menurut Bruggink, adalah merupakan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang telah dipositifkan.
Sebagaimana teori pada umumnya, demikian pula teori hukum mempunyai makna ganda yaitu teori hukum sebagai produk dan teori hukum sebagai proses. Teori hukum dikatakan sebagai produk, sebab rumusan suatu satu kesatuan dari pernyataan yang saling berkaitan adalah merupakan hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Sedangkan Teori hukum dapat dikatakan sebagai proses, adalah karena teori hukum tersebut merupakan kegiatan teoritik tentang hukum atau bidang hukum.

B. Permasalahan

1. Apakah hukum dan paradigma ?
2 . Bagaimana hukum Indonesia yang formalistik ditinggalkan menuju paradigma hukum yang sosiologis ?

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

Antara teori hukum dengan filsafat hukum sangat berdampingan erat, bahkan adakalanya sangat sulit dibedakan antara satu dengan lainnya, dan adakalanya juga objek penyelidikan filsafat hukum adalah juga merupakan objek penyeledikan teori hukum. Dimana tugas teori hukum, menurut Radbruch, adalah untuk membuat jelas nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa filsafat hukum juga membicarakan teori hukum, tetapi filsafat hukum tidak mengajukan suatu teori hukum. Dimana didalamnya terdapat pula kesamaannya, yakni filsafat hukum dan teori hukum sama-sama tidak membatasi diri pada hukum yang berlaku, melainkan pada usaha pencarian hukum yang benar dalam arti ius constituendum. Akan tetapi terdapat pula perbedaannya, yakni teori hukum bertitik tolak dari suatu teori (hypothesis) tertentu, sedangkan filsafat hukum merupakan diskursus yang terbuka yang tidak membatasi diri pada postulat, premis atau metode tertentu.
Teori hukum muncul, lahir dan berkembang sebagai jawaban atas permasalahan hukum atau menggugat suatu pemikiran hukum yang dominan di suatu saat. Oleh karenanya, agar dapat memahami suatu teori hukum tidak dapat dilepaskan dari inter dan antar masa, faktor, keadaan, kondisi sosial kemasyarakatan, kenegaraan yang melingkupi tumbuh dan berkembangnnya teori hukum yang bersangkutan.
Berbicara mengenai lahir, tumbuh dan berkembangnya teori hukum, maka dapat dikemukakan adanya beberapa aliran/mazhab hukum menurut para ahli hukum, antara lain sebagai berikut:
1. Aliran/mazhab hukum menurut F.S.G. Northrop terdiri dari:
a. Legal Positivism;
b. Pragmatic Legal Realism;
c. Neo Kantian and Kelsenian Ethical Jurisprudence;
d. Functional Anthropological or Sociological Jurisprudence;
e. Natural Jurisprudence.
2. Sedangkan aliran/mazhab hukum menurut Friedmann terdiri dari:
a. aliran yang didasarkan atas hukum alam berdasarkan nilai-nilai abadi (naturalistic jurisprudence);
b. aliran yang didasarkan filsafat masalah keadilan;
c. aliran yang didasarkan atas pengaruh perkembangan masyarakat terhadap hukum;
d. aliran positivisme dan positivisme hukum;
e. aliran hukum yang didasarkan atas kegunaan dan kepentingan (mamfaat).
3. Ada tiga berpikir, menurut G.W. Paton, tentang hukum, yaitu:
a. the pure science of law.
b. functional/sociological jurisprudence.
c. Teological jurisprudence.
4. sementara itu, sebagai kesimpulan menurut Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, adapun penggolongan aliran/mazhab hukum adalah sebagai berikut:
a. Aliran Hukum Alam (hukum kodrat), dibedakan atas dua bagian aliran lagi yaitu:
1) aliran hukum alam yang irrasional;
2) aliran hukum alam yang rasional;
b. Aliran hukum positif, dibedakan atas dua bagian aliran lagi yaitu:
1) aliran hukum positif yang analitis;
2) aliran hukum positif yang murni;
c. Aliran Utilitarianisme;
d. Mazhab Sejarah;
e. Sociological Jurisprudensi;
f. Pragmatic Legal Realism.
Dari pembagian aliran/mazhab hukum tersebut, adalah menarik untuk mengkaji lebih lanjut, dimanakah kedudukan peranan hakim dalam penemuan hukum dalam pembagian aliran/mazhab hukum tersebut. Untuk itu, penulis memilih judul “Peranan Hakim Dalam Penemuan Hukum Dalam Perspektif Teori Hukum”. Meskipun teori hukum tidak berbicara mengenai realitas hukum dan hukum positif tertentu.
Karenanya tulisan ini tidak akan membahas secara mendalam dan menyeluruh semua aliran/mazhab hukum tersebut, akan tetapi dan melainkan dibatasi oleh dan dengan yang berkaitan dengan peranan hakim dalam penemuan hukum dalam pembagian aliran/mazhab hukum tersebut. Kalaupun terjadi penyebutan aliran/mazhab hukum tertentu, maka hal tersebut adalah merupakan penjelasan teks dan konteks tulisan yang bersangkutan.

A. Hukum dan paradigma
Memahami Permainan Bahasa perlu cara untuk memandu sesorang agar memperoleh gambaran yang jelas tentang apa hukum itu. Banyak literatur yang mencoba memecahkan persoalan ini, demikian halnya dengan teori dan filsafat hukum. Keragamanan tidak harus membingungkan, paling tidak menurut tulisan dalam buku ini akrena pada dasarnya argumentasi tertentu bertolak dari cara berpikir yang tidak seragam yang dilator belakangi oleh pendidikan serta kehidupan seharai-hari yang berbeda pula.
Dilihat dari perkembangan aliran pemikiran (hukum) satu aliran pemikiran akan bergantung pada aliran pemikiran lainnya sebagai sandaran kritik untuk membengun kerangka teoritik berikutnya. Munculnya aliran pemikiran baru tidak otomatis bahwa aliran atau pemikran lama ditinggalkan. Sulitnya untuk meramu seluruh ide yang berkembang dalam hukum, karena dua alasan yaitu :
- Hukum adalah objek kajian yang masih harus dikonstruksi (dibangun) sebagaimana kaum konstrukvitis menjelaskan, diciptakan menurut istilah positivistic atau menggunakan bahasa kaum hermeniam ‘ditafsirkan’ sehingga dengan demikian cara pandang seseorang tentang hukum akan ditentukan oleh bagimana orang tersebut mengonstruksi, menciptakan atau menafsirkan mengenai apa yang disebut hukum itu.
- Satu pemikiran (aliran tertentu) akan memiliki latar belakang atau sudut pandang yang berbeda dengan aliran (pemikiran) lain, ini merupakan ragam kelemahan dan keunggulan masing-masing. Kondisi ini pada dasarnya memberikan keleluasaan karena hukum akan menjadi wilayah terbuka yang mungkin saja hailnya lebih positif.
Kata ‘hukum’ digunakan banyak orang dalam cara yang sangat umum sehingga mencakup seluruh pengalaman hukum, betapapun bervariasinya atau dalam konteksnya yang sederhana. Namun dalam sudut pandang yang paling umum sekalipun, hukum mancakup banyak aktivitas dan ragam aspek kehidupan manusia.
Memahami paradigma , Dalam bahasa Inggris “paradigm”, dari bahasa Yunani “paradeigma” , dari “para” (disamping, disebelah) dan “dekynai” (memperlihatkan ; yang berarti ; model contoh, arketipe, ideal). Menurut Oxfor English Dictionary “paradigm” atau paradigma adalah contoh atau pola. Akan tetapi didalam komunitas ilmiah paradigma dipahami sebagai sesuatu yang lebih konseptual dan signifikan, meskipun bukan sesuatu yang tabu untuk diperdebatkan.
Konsep paradigma yang diperkenalkan oleh Khun kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam sosiologi. Konsep paradigma Khun lebih kepada sesuatu yang bersifat “metateoritis”. Chalmers sendiri menjelaskan tentang karakteristik paradigma, yang meliputi :
- Tersusun oleh hukum-hukum paradigma dimaksud dan asumsi-asumsi teoritis yang dinyatakan secara eksplisit.
- Mencakup cara-cara standar bagi penerapan hukum-hukum tersebut kedalam beragam situasi dan kondisi.
- Mempunyai instrumentasi dan teknik-teknik instrumental yang diperlakukan guna menjadikan hukum-hukum tersebut berjaya didunia nyata.
- Terdiri dari beberapa prinsip metafisika yang memandu segala karya dan karsa didalam lingkup paradigma dimaksud.
- Mengandung beberapa ketentuan metodologis.
Paradigma Dominan dalam Ilmu.
Dari sekian banyak paradigma dominant dalam ilmu, paling tidak dapat dijelaskan ada tiga paradigma yang dominan yaitu positivisme, interpretivisme, dan critical studies. Namun demikian mendampingi ketiga paradigma tersebut ada dua paradigma besar lainnya yaitu feminisme dan post modenisme.
Paradigma Ilmu Hukum.
Soetandyo Wignyosoebroto, menjelaskan tentang paradigma penting dalam hukum yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Paradigma Positivistik.
Aliran filsafat yang berkembang di Eropa Kontinental (khususnya Perancis) dengan beberapa eksponen terkenal diantaranya Henri Saint Simon dan August Comte.
Positivisme merupakan paham yang menganut agar setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan kebenaran hendaklah memperlakukan realitas sebagai sesuatu yang eksis, sebagai sesuatu objek, yang harus dilepaskan dari sembarang macam pra-konsepsi metafisis yang subyektif sifatnya.
Disini hukum tidak lagi dikonsepsi sebagai atas moral meta yuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex.
Paling tidak ada dua positivisme hukum sebagaimana dijelaskan Khuzaifah Dimyati, yaitu positivisme yuridis (bahwa hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu dioleh secara ilmiah) dan positivisme sosiologis (hukum ditanggapi terbuka bagi kehidupan masyarakat, yang harus diselidiki melalui metode-metode ilmiah).
2. Paradigma Pasca-Positivistik ; Realitas Dekonstruksi Melalui Interaksi.
Melepaskan diri dari karakteristik berpikir kaum posivistik, muncul pemikiran yang oleh Colin disebut kaum social contructivist. Meski kaum ini memiliki keleluasan dalam ragam kajiannya tetapi paling tidak ada delapan posisi argumentative sebagaimana dikatakan Soetandyo Wignyosoebroto, yaitu etnometodologi, relativisme budaya, konstruktivisme sosial Bergerian, relativitas linguistic, fenomenologi, simbolisme fakta sosial, paradigma konvensi, dan juga termasuk paradigma argumentative yang hermeneutic.
3. Paradigma Hermeneutik.
Kajian atau paradigma Hermeneutik atau yang sering disebut interpreatif mencoba membebaskan kajian-kajian hukum dari otorianisme para yuris positif yang elitis secara jelas dan tegas menolak paham universalisme dalam ilmu hukum, khususnya ilmu yang berseluk beluk dengan objek manusia berikut masyarakat, gantinya relativisme itu yang diakui. Kajian atau paradigma hermeneutik dalam ilmu hukum membuka kesempatan kepada para pengkaji hukum untuk tidak hanya berkutat demi kepentingan profesi yang ekslusif semata. Pendekatan ini dengan strategi metodologisnya menganjurkan to learn from people, mengajak para pengkaji hukum dari perspektif para pengguna atau pencari keadilan.
B. Paradigma hukum yang formalistik menuju paradigma hukum yang sosiologis
Berdasarkan pandangan Nealgra (1977:68) dijelaskan bahwa:
“Pemerintah seakan-akan hanya boleh menentukan syarat pinggir (randvoor wearden) untuk permainan bebas kekuatan masyarakat yang terjadi dalam negara. Syarat pinggir itu demikian persangkaan orang dapat diterangkan dalam bentuk suatu jumlah peraturan hukumyang relatif kuat, yang harus jelas bagi setiap orang.”
Penganut formalistik berpandangan bahwa hukum dianggap lengkap dan jelas mengatur segala persoalan yang ada di zamanya. Formalistik mendasarkan pandangannya bahwa tugas negara terbatas sekali hanya sebagai penjaga malam, menjaga ketertiban dan keamanan sajayang hanya bertindak jika terjadi pelanggaran hukum.
Penganut formalistik-normatif memandang hukum dalam kenyataannya sebagai kaidah yang menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Kajian formalistik-normatif bersifat preskriptif menentukan yang salah dan yang benar semata. Berbeda halnya dengan pandangan yang berfaham sosiologis pada umumnya berpandangan bahwa hukum dalam wujudnya sebagai kaidah, melainkan hukum dalam wujudnya di dalam masyarakat itu sendiri. Penganut sosiologis memandang hukum itu belum lengkap mengatur segala persoalanyang ada pada zamannya, dan memandang hukum yang belum diaplikasikan hanya sebagai rancangan hukum saja, belum berwujud menjadi hukum.
Pandangan Aliran Positivisme Tentang Hukum.
Aliran berpandangan bahwa perlu dipisahkan antara hukum dan moral, sejarah, sosiologi (antara hukum yang berlaku dan yang seharusnya, antara das sein dan das sallen). Menurut pandangan positivis tiada hukum yang selain hukum yang dibuat oleh penguasa (law is a command of the lawgivers), bahkan ada di antara aliran positivisme (logisme) berpandangan bahwa hukum identik dengan hukum.
Positivisme hukum dibagi dalam dua kategori:
1. Aliran hukum positif analitis (analytical juriprudence).
Di antara ajaran postivisme yang terpenting adalah ajaran hukum positif analitis oleh John Austin. Menurut ajaran ini hukum adalah perintah penguasa negara. Hakikat hukum terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistemyang tetap, logis dan tertutup.
Austin membedakan hukum dalam dua jenis:
1. Hukum dari Tuhan untuk manusia (the devine laws).
2. Hukum yang dibuat oleh manusia.
Tentang hukum yang dibuat oleh manusia dibedakan lagi dalam: (1) hukum yang seharusnya, (2) hukum yang tidak sebenarnya. Hukum dalam arti sebenarnya disebut juga dengan hukum positif meliputi hukum yang dibuat oleh penguasa dan hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hal-hal yang diberikan kepadanya. Hukum yang tidak sebenarnya adalah hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum, seperti ketentuan dari suatu organisasi kesenian.
Hukum sebenarnya mempunyai 4 unsur, yaitu:
1. Perintah (command)
2. Sanksi (sanction)
3. Kewajiban (duty)
4. Kedaulatan (save-reignty)
2. Aliran Hukum Murni.
Ajaran hukum Hans Kelsen terdiri dari dua konsep.
a. Ajaran hukum murni (Reine Rechtlehre)
Adalah bahwa hukum itu harus dipisahkan dari sosiologis, moral, politis, historis, dan sebagainya. Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional. Baginya tidak mempersoalkan hukum itu dalam kenyataannya, tetapi mempersoalkan apa hukumnya. Bahkan dalam ajaran hukum murni ini menolak keadilan dijadikan pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Hans Kelsen keadilan adalah masalah ideologi yang ideal-irasional.
b. Ajaran Stufenbau Thery.
Ajaran ini pada mulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl kemudian dipopulerkan oleh Hans Kelsen. Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah suatu norma semakin kongkrit sifatnya.
Norma yang paling tinggi menduduki puncak piramida disebut Grundnorm atau unsprungnorm. Teori jenjang melihat hukum itu identik dengan perundang-undangan. Menurut teori ini di luar perundang-undangan tidak termasuk hukum. Teori jenjang kemudian dihubungkan sistem hukum Indonesia berdasar ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang memorandum DPR-GR mengenai sumber tertib hukum RI dan tata urutan peraturan perundang-undangan RI didasari oleh Stuffenbau Theory dengan ciri formal legalistik.

Paradigma Hukum Sosiologis.
Jika ajaran Stufenbau Thery dengan ciri formal-legalistik diterapkan secara konsisten di Indonesia, maka keberadaan negara RI dipertanyakan.
Meskipun secara praktis, proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan fenomena yang secara defacto sebagai tanggal lahirnya suatu negara baru yaitu negara RI, akan tetapi jika menganut pandangan positivisme (diantaranya Stufenbau Thery, ajaran hukum murni), yang bercirikan formal legalistik, maka sebenarnya gerakan revolusioner para pejuang kita tidak lebih dari gerakan “makar” menumbangkan suatu pemerintahan yang sah yaitu pemerintah Hindia Belanda.
Status UUD 45 setelah keluarnya dekrit presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 45, jika kita konsisten menggunakan paradigma positivisme misalnya: “ajaran hukum murni” dan Stufenbau Thery dari Hans Kelsen berarti keseluruhan hasil dari proklamasi kemerdekaan RI 1945 hingga saat ini adalah “batal demi hukum” dan ilegal, namun dalam kenyataannya, pandangan positivisme bukan satu-satunya kebenaran dunia hukum. Pengamat aliran sosiologis di bidang hukum akan berpendapat lain bahwa secara sosiologis proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 merupakan kehendak seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskandari cengkeraman kolonialisme Belanda.
Jadi eksistensi negara RI baru dapat diterima sebagai suatu kenyataannya jika cara berpikir kita menggunakan “paradigma sosiologis”, bukan paradigma “positivistis”.
Demikian pula ajaran hukum murni secara realitas, empiris sudah banyak ditinggalkan hal ini diperkuat oleh Talcott Parsons dengan teori sibernetiknya bahwa dalam masyarakat ada sub-sub sistem yaitu:
a. Sub-Sistem Ekonomi.
b. Sub-Sistem Politik.
c. Sub-Sistem Sosial
d. Sub-Sistem Budaya.
Sub sistem hukum berada pada sub sistem sosial sehingga dari sistematikanya sub sistem hukum diatasi oleh ekonomi dan politik. Sementara arus informasi terbesar berada pada sub sistem budaya, sebaliknya arus energi terbesar berada pada sub sistem ekonomi, semakin kecil pada politik, sosial dan budaya (Ahmad Ali : 278-299 : 1996).
Berdasarkan teori sibernetik dari Talcott Parson secara realitas bahwa hukum sudah tidak otonom lagi. Hukum sudah dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik, etika, moral, sejarah sehingga pada saat sekarang ini dimaklumi jika ada suatu putusan hakim kadang-kadang atau keseringan dipengaruhi oleh unsur ekonomi dan politik. Seperti kasus Kedung Umboh di mana pada putusan pengadilan tingkat pertama dan putusan pengadilan tingkat II dikalahkan setelah pihak penggugat melakukan kasasi di MA pihak penggugat dimenangkan oleh MA, dan pada saat itu pula pelaksanaan putusan (eksekusi) ditangguhkan berlakunya oleh Ketua MA. Hal ini sangat ironis pada suatu negarayang berkedaulatan hukum seperti Indonesia, memaklumi tidak berarti membenarkan. Sehingga dengan demikian apabila paradigma hukum sosiologis kita terapkan, maka hukum Islam secara tidak langsung dapat diterapkan sebab benih-benih untuk memberlakukan syariat Islam tersebar di berbagai undang-undang. Contohnya: “The Sense of Justice of The Peoples” sesuai dengan perintahyang terkandung dalam pasal 27 (1) undang-undang pokok kekuasaan kehakiman (UU No.14/1970): “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukumyang hidup dalam masyarakat.

Dalam penjelasan pasal tersebut “ hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat. Untuk itu harus terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Tentunya yang dimaksud pasal di atas adalah syariat Islam karena bukankah nilai-nilai hidup mayoritas masyarakat Indonesia ada























BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Penganut formalistik berpandangan bahwa hukum dianggap lengkap dan jelas mengatur segala persoalan yang ada di zamanya. Formalistik mendasarkan pandangannya bahwa tugas negara terbatas sekali hanya sebagai penjaga malam, menjaga ketertiban dan keamanan saja yang hanya bertindak jika terjadi pelanggaran hukum.
Pengamat aliran sosiologis di bidang hukum akan berpendapat lain bahwa secara sosiologis proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 merupakan kehendak seluruh rakyat Indonesia untuk membebaskandari cengkeraman kolonialisme Belanda.
Eksistensi negara RI baru dapat diterima sebagai suatu kenyataannya jika cara berpikir kita menggunakan “paradigma sosiologis”, bukan paradigma “positivistis”.

B. Saran
Kebutuhan untuk dapat menampilkan pemikiran hukum indonesia yang sesungguhnya merupakan pekerjaan besar dan membutuhkan kontemplasi dan penelitian yang mendalam ,seksama dan memerlukan proses panjang ,oleh karena pemikiran hukum yang akan dibangun bukan hanya mengacu pada konsep hukum normatif semata-mata ,akan tetapi juga merujuk pada setting sosial ,budaya dan politik .Langkah yang perlu ditegaskan adalah bahwa bangsa Inonesia berani menentukan apa yang paling baik bagi bangsa ini ,termasuk dalam membangun ilmu hukum yang memiliki karateristik ke-Indonesiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar